2.Spiritualitas Perikoresis dalam Peristiwa Pentakosta:

Analisis Reinterpretatif Kisah Para Rasul 2:1-13

Harls Evan R. Siahaan Sekolah Tinggi Teologi Pelita Bangsa, Jakarta evandavidsiahaan@gmail.com

https://sttberea.ac.id › article › download › pdf

Bahasa Roh: Spiritualitas Perikoresis

Bahasa roh bukan titik akhir dalam peristiwa baptisan Roh Kudus, seolah menjadi legalitas bahwa seorang telah dipenuhi Roh Kudus. Sebaliknya, bahasa roh menjadi titik awal (arkhē) merefleksikan spiritualitas perikoresis yang direfleksikan melalui kehidupan jemaat mula-mula.

Persekutuan

Prinsip pertama perikoresis adalah persekutuan; Trinitas merupakan persekutuan tiga Pribadi Allah yang tak terpisah dan tak tercampur. Stamatoviĉ menyatakan istilah perikoresis dalam teologi sekarang ini, pada umumnya digunakan untuk menjelaskan tentang relasi timbal balik antarpribadi Allah Trinitas.20 Persekutuan itu mengikat, setiap pribadi tidak dapat terlepas atau melepaskan diri. Spiritualitas perikoresis dalam bahasa roh adalah persekutuan, di mana Roh Kudus bersekutu dengan Bapa dan melibatkan manusia di dalamnya.21 Bahasa yang diucapkan oleh 120 orang di loteng Yerusalem itu tidak dipahami mereka, karena Roh Kuduslah yang mengaruniakannya (Kis. 2:4b) dalam sebuah komunikasi yang melampaui pemahaman manusiawi. Sekalipun pendengar dalam konteks peristiwa Pentakosta dapat memahami ucapan 120 orang itu, namun para Yahudi diaspora tersebut tidak sedang berada dalam lingkaran persekutuan perikoretik. Mereka sedang menyaksikan persekutuan yang diekspresikan dan sekaligus direfleksikan melalui bahasa roh. Pascaperistiwa Pentakosta yang dilanjutkan klarifikasi Petrus atas tuduhan “mabuk anggur” terhadap mereka yang berbahasa roh, dan khotbahnya yang menghasilkan banyak petobat baru, jemaat mula-mula terbentuk menjadi komunitas yang terus bertumbuh dan bertambah jumlahnya. Peristiwa pemenuhan Roh tersebut menjadi sebuah titik balik bagi para murid dan pengikut yang tersisa 120 orang saja. Mereka mengalami dinamisasi, sebuah perubahan yang berbalik dari waktu mereka masih bersama-sama mengikut dan menemani Yesus melayani. Kisah Para Rasul 2:41-47 mendeskripsikan karakteristik atau ciri-ciri jemaat ini22 , yang salah satunya tentang “bertekun dalam persekutuan” (ay. 42). Indikasi bersekutu disebut kembali pada ayat 46; “…mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah,” seolah ingin memberi kesan komunitas ini suka bersekutu. Menariknya, istilah koinōnia yang digunakan menjelaskan persekutuan (fellowship) pada ayat 42 tidak ditemukan dalam tulisan Injil, bahkan Injil Lukas, sekalipun mereka sangat mungkin melakukan “fellowship”. Bahasa roh merupakan bahasa yang mengekspresikan sebuah persekutuan perikoretik di mana Allah melibatkan manusia (orang percaya) berpartisipasi dalam persekutuan ilahi. Bahasa roh bukan tentang menjadi rohani, atau lebih rohani dari orang percaya yang lain, namun sebuah indikasi spiritualitas perikoretik, bahwa kepenuhan Roh senantiasa berimplikasi pada rasa haus dan lapar untuk bersekutu. Bahasa roh tidak muncul dari keinginan diri sendiri untuk mengungkapkannya, sekalipun itu adalah bahasa doksologis, melainkan dorongan Roh Kudus melalui persekutuan partisipatif orang percaya dalam perikoresis Trinitas.