2.TEOLOGI PEMBEBASAN

SEJARAH TEOLOGI PEMBEBASAN

1.Teologi Pembebasan muncul pada abad ke-20 seiring banyaknya permasalahan dunia yang sedang tidak merdeka dinilai dari sudut pandang keadilan sebagai manusia yang sama di hadapan Tuhan.[3][4] Dunia harus merdeka dari tindakan yang menindas sesamanya, bahkan seharusnya yang kaya dan memiliki jabatan harus membela dan memperhatikan kebutuhan rakyat kecil dan miskin.[3]

2.Kemunculan pertamanya di Eropa yang berkonsentrasi pada persoalan globalisasi, berprihatin pada dosa sosial yang terdapat pada sistem pemerintahan sebuah negara.[3] Teologi Pembebasan menawarkan sistem sosial yang mengedepankan keadilan sebagai warga negara dan warga dunia dalam pandangan agama (manusia yang adil, tidak tertindas)yang dirusak oleh manusia sendiri.[3][4] Sementara itu, teologi pembebasan yang lahir di Amerika Latin berfokus pada gerakan perlawanan yang kebanyakan dilakukan oleh para agamawan terhadap kekuasaan yang hegemoni dan otoriter.[3]

 

SALAH SATU PEMIKIRAN TEOLOGI PEMBEBASAN

Pemikiran teologi pembebasan bermula dari Hermeneutika Alkitab.[4] Setelah menafsirkan pesan-pesan dalam Alkitab berdasarkan tindakan Yesus yang membela dan menolong orang-orang lemah, sakit, dan tertindas, maka peran agama juga seharusnya demikian.[4] Dalam agama Kristen sendiri, hal ini menjadi tanggung jawab gereja sebagai lembaga agama yang memiliki pengaruh, baik kepada jemaatnya, masyarakat di mana dia tinggal, maupun kepada pemerintahannya.[4] nilai-nilai yang muncul itu biasanya dilihat dari perikemanusiaan dan perikeadilan.[4] Pelanggaran nilai-nilai ini di sejumlah negara telah membangkitkan keprihatinan di kalangan aktivis Teologi Pembebasan.[4] Nilai-nilai yang didapat dari tafsir Kitab Sucinya masing-masing.[4]

Sebagai contoh, Umat Kristen dengan ajaran Kristologi yang menafsirkan bahwa Kristus (Tuhan) adalah seorang yang hadir dalam situasi karut marut dan membawa pembebasan bagi rakyat kecil dan tertindas.[4] Dari dasar inilah, maka orang Kristen mengikuti teladan Yesus dan menentang ketidakadilan. Mereka merasa mendapat tugas untuk meneruskan perjuangan Tuhan yang disembahnya.[4]