Analisis Reinterpretatif Kisah Para Rasul 2:1-13
Harls Evan R. Siahaan Sekolah Tinggi Teologi Pelita Bangsa, Jakarta evandavidsiahaan@gmail.com
http://sttberea.ac.id › article › download › pdf
Bahasa roh bukan titik akhir dalam peristiwa baptisan Roh Kudus, seolah menjadi legalitas bahwa seorang telah dipenuhi Roh Kudus. Sebaliknya, bahasa roh menjadi titik awal (arkhē) merefleksikan spiritualitas perikoresis yang direfleksikan melalui kehidupan jemaat mula-mula. Prinsip Perikoresis ketiga adalah Kesatuan dan Identitas Perbedaan.
Kesatuan dan Identitas Perbedaan
Menurut Adiprasetya, Moltmann menggunakan konsep perikoresis yang berpusat pada kebersatuan (kesatuan) ketiga pribadi Allah dalam Trinitas.26 Peristiwa pencurahan Roh Kudus yang diikuti oleh bahasa roh kerap diletakkan pada posisi yang berlawanan dengan peristiwa pembangunan menara Babel yang diikuti perserakan bahasa. Bahasa roh merupakan satu identitas yang melaluinya banyak identitas mengambil tempat. Dalam bahasa yang satu itu, yakni bahasa lidah atau bahasa roh (glossolalia), beragam bahasa menemukan identitasnya masing-masing. Bahasa roh tidak menghisab semua bahasa menjadi satu dialek atau bunyi, sehingga hanya dimengerti oleh salah satu dari mereka; mereka tidak mendengar bahasa roh lalu memahaminya, namun mereka mengenali bahwa itu adalah identitas dialeknya. Fenomena bahasa roh yang diidentifikasi oleh orang-orang Yahudi diaspora sebagai bahasa mereka tidak jarang dimaknai sebagai bahasa misiologis, yang melalui bahasa itu mereka yang mendengarkannya mengalami pertobatan. Alih-alih merespon baik, perikop tentang peristiwa Pentakosta diakhiri dengan sindiran terhadap bahasa roh; “Mereka sedang mabuk oleh anggur manis” (Kis. 2:13). Pertobatan besar memang terjadi, namun itu setelah Petrus berkhotbah. Artinya, mengartikulasikan bahasa roh sebagai bahasa misiologis pada konteks itu kuranglah tepat. Lukas sedang menunjukkan bahwa bahasa roh adalah spiritulitas perikoresis tentang kesatuan yang tidak menghilangkan perbedaan dan keberagaman (pluralitas). Masing-masing kelompok Yahudi diaspora tetap menemukan identitas mereka dalam bahasa roh. Gereja dalam aras Pentakostal, termasuk Kharismatik, tidak sedikit yang masih mempersoalkan identitas kelompok (golongan), suku, dan ras. Bahasa roh bukan tentang pesan misteri yang harus dimengerti, sehingga butuh karunia untuk menafsirkannya. Bahasa roh (Kis. 2:4) merupakan awal dari perjalanan spiritualitas orang-orang yang mengalami kepenuhan Roh Kudus. Gereja berbahasa roh artinya menentang penyeragaman, dan tetap mempertahankan keberagaman dalam kesatuan. Gereja harus bersatu, karena demikianlah hakikatnya dalam metafora tubuh Kristus, namun tetap memberi tempat untuk perbedaan. Perbedaan tidak perlu diseragamkan, pun dengan diksi “kesatuan”, karena perbedaann adalah hakikat dalam prikoresis Trinitas. Kesatuan pribadi Allah dalam Trinitas bersifat interpenetrasi, saling mengisi namun tidak bercampur menjadi satu; masing-masing pribadi tetap berbeda.