Analisis Reinterpretatif Kisah Para Rasul 2:1-13
Harls Evan R. Siahaan Sekolah Tinggi Teologi Pelita Bangsa, Jakarta evandavidsiahaan@gmail.com
https://sttberea.ac.id › article › download › pdf
Spiritualitas Bahasa Roh
Bahasa roh yang dipraktikkan dalam gereja-gereja aliran Pentakostal seharusnya tidak berhenti pada pemahamannya sebagai tanda baptisan Roh Kudus saja. Gereja selayaknya lebih menekankan sebuah spiritualitas yang dibangun melalui perspektif perikoresis Trinitas dalam mengajarkan bahasa roh. Sehingga, tanda itu bersifat dinamis, bergerak maju ke masa depan, menuju titik akhir pada persekutuan partisipatif yang sempurna dalam perikoresis Trinitas. Baptisan Roh Kudus merupakan sebuah karya Allah Trinitas, yang dimulai dari sebuah janji dari Bapa (Kis. 1:5), Yesus sebagai Pembaptisnya (Luk. 3:16), dan Roh Kudus adalah media baptisannya (Kis. 1:5), sehingga kesatuan perikoretik Trinitas tercermin sebagai spiritualitas baptisan itu. Itu sebabnya, kata kuasa sebagai yang dijanjikan ketika “Roh Kudus turun” (Kis. 1:8) menggunakan istilah dunamis, yang dari kata itu muncul istilah: dinamis, dinamika. Merriam Webster mendaftarkan kata spirited sebagai salah satu yang terkait dengan istilah dinamis.27 Dinamika itulah tujuan baptisan Roh Kudus, yang tidak dapat diwakili atau disamakan dengan bahasa roh, atau sekadar berbahasa roh. Dinamika merupakan kekuatan atau energi yang menjadikan orang percaya dinamis, sehingga baptisan Roh Kudus dapat diartikulasikan sebagai sebuah dinamisasi. Dinamisasi itu menghasilkan spiritualitas orang percaya dalam menggereja, baik pada ruang liturgi gedung gereja maupun pada ruang publik. Pada praktiknya bahasa roh dalam hidup menggereja saat ini tidak lagi harus diposisikan pada dua kubu yang kerap kali dipertentangkan, pada identitas teologi produk Pentakostal atau Karismatik. Bahasa roh adalah spiritualitas yang ditunjukkan oleh gereja mula-mula, bagaimana selayaknya menjadi gereja atau saksi di tengah dunia. Paulus adalah salah seorang yang berhasil menghidupi spiritualitas perikoresis ini; menurutnya, ketika seseorang berbahasa roh, sesungguhnya ia sedang membangun dirinya sendiri (1Kor. 14:4). Artinya, ketika berbahasa roh, umat sedang membangun spirtualitas perikoresis, yang mengejawantah dalam sikap dan perilaku sehari-hari.
KESIMPULAN
Pembacaan ulang narasi Kisah Para Rasul 2:1-13 mengenai pencurahan dan kepenuhan Roh Kudus pada hari Pentakosta, yang diikuti fenomena bahasa lidah (glossolalia) atau bahasa roh, mengindikasikan secara kuat adanya spirtualitas perikoresis. Melalui berbahasa roh, orang percaya membangun spiritualitas perikoresis tentang bersekutu (koinōnia), memberi ruang (khōra) bagi sesama, dan bersatu tanpa menghilangkan perbedaan. Spirtualitas perikoretik harus terus dihidupi dalam rangka memberi ruang aktualisasi dan partisipasi kaum Pentakostal dalam dunia yang terus berubah dengan beragam tantangan sosialnya. Kajian ini merekomendasikan penelitian partisipatif dalam gereja-gereja Pentakostal dan Kharismatik mengenai pemahaman spiritualitas perikoresis Pneumatologis.