METODE SOSIOLOGIS

METODE  STUDI AGAMA AGAMA

Al-Adyan: Jurnal Studi Lintas Agama 11 (1), 1-16

Oleh:Ahmad Zarkasi

Beberapa metodologi studi agama-agama: Metode; Teologi, Historis, Fenomenologis, Sosiologis, Antropologi dan Psikologis

 

METODE SOSIOLOGIS

Dalam disiplin Sosiologi Agama, ada tiga perspektif utama sosiologi yang seringkali digunakan sebagai landasan dalam melihat fenomena keagamaan di masyarakat, yaitu: perspektif fungsionalis, konflik dan interaksionisme simbolik. Masingmasing perspektif memiliki karakteristiknya sendiri-sendiri bahkan bisa jadi penggunaan perspektif yang berbeda dalam melihat suatu fenomena keagamaan akan menghasilkan suatu hasil yang saling bertentangan. Pembahsan berikut ini akan memaparkan bagaimana ketiga perspektif tersebut dalam melihat fenomena keagamaan yang terjadi di masyarakat.

  1. Perspektif Fungsionalis.

Perspektif fungsionalis memandang masyarakat sebagai suatu jaringan kelompok yang bekerjasama secara terorganisasi yang bekerja dalam suatu cara yang agak teratur menurut seperangkat peraturan dan nilai yang dianut oleh sebagian besar masyarakat tersebut. Masyarakat dipandang sebagai suatu sistem yang stabil dengan suatu kecenderungan untuk mempertahankan sistem kerja yang selaras dan seimbang.

Karena agama dari dulu hingga sekarang masih tetap eksis maka jelas bahwa agama mempunyai fungsi atau bahkan memainkan sejumlah fungsi di masyarakat. Oleh karenanya, perspektif fungsionalis lebih memfokuskan perhatian dalam mengamati fenomena keagamaan pada sumbangan fungsional agama yang diberikan pada sistem sosial. Melalui perspektif ini, pembicaraan tentang agama akan berkisar pada permasalahan tentang fungsi agama dalam meningkatkan kohesi masyarakat dan kontrol terhadap perilaku individu.

  1. Perspektif Konflik

1.Tidak ada seorang sosiolog pun yang menyangkal bahwa perspektif konflik dalam kajian sosiologi bersumber pada ide-ide yang dilontarkan oleh Karl Mark seputar masalah perjuangan kelas. Berlawanan dengan perspektif fungsional yang melihat keadaan normal masyarakat sebagai suatu keseimbangan yang mantap, para penganut perspektif konflik berpandangan bahwa masyarakat berada dalam konflik yang terus-menerus diantara kelompok dan kelas, atau dengan kata lain konflik dan pertentangan dipandang sebagai determinan utama dalam pengorganisasian kehidupan sosial sehingga struktur dasar masyarakat sangat ditentukan oleh upaya-upaya yang dilakukan berbagai individu dan kelompok untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas yang akan memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka.

 

2.Dalam kaitannya dengan kekuasaan, kalangan teoritisi konflik memandang agama sebagai ekspresi penderitaan, penindasan, dan rasionalisasi serta pembenaran terhadap tatanan sosial yang ada. Jadi, dalam perspektif konflik ,agama lebih dilihat dalam hubungannya dengan upaya untuk melanggengkan status quo, meskipun pada tahap selanjutnya tidak sedikit kalangan yang menganut perspektif ini justru menjadikan agama sebagai basis perjuangan untuk melawan . status quo sebagaimana perjuangan bangsa Amerika Latin melalui teologi liberal mereka yang populer.

 

III.Perspektif Interaksionisme simbolik

Dalam wacana sosiologi kontemporer, istilah interaksionisme simbolik diperkenalkan oleh Herbert Blumer.

Perspektif interaksionisme simbolik melihat pentingnya agama bagi manusia karena agama mempengaruhi individu-individu dan hubungan-hubungan sosial. Pengaruh paling signifikan dari agama terhadap individu adalah berkenaan dengan perkembangan identitas sosial.

Oleh karenanya, kalangan interaksionis lebih melihat agama dari sudut peran yang dimainkan agama dalam pembentukan identitas sosial dan penempatan individu dalam masyarakat. Luasnya cakupan dimensi agama yang ada sebagai konseskuensi dari kecenderungan para sosiolog mendefinisikan agama secara inklusif sebenarnya telah membuka kesempatan yang luas bagi berbagai perspektif yang ada dalam sosiologi untuk bisa memberikan kontribusi maksimal bagi upaya memahami perilaku-perilaku sosial masyarakat sebagai perwujudan dari pelaksanaan beragam keyakinan dan doktrin-doktrin keagamaan yang ada. Namun demikian, pembahasan sosiologis tentang berbagai fenomena keagamaan yang berkembang dimasyarakat selama ini cenderung terpusat disekitar permasalahan fungsi ganda agama bagi masyarakat, yaitu fungsi integratif dan disintegratif.

 

Mengapa ilmu sosiologi agama disebut ilmu profan?

Ia merupakan suatu ilmu yang menduduki tempat yang “profan”. … Karena maksud ilmu tersebut bukan untuk membuktikan kebenaran(objektivitas) ajaran agama, melainkan untuk mencari keterangan teknis ilmiah mengenai hal ihwal masyarakat agama.