AYUB MANUSIA BIASA


BUKAN MANUSIA LUAR BIASA
Ayb 3:1-20

Ucapan Ayub mengutuki hari kelahirannya, mungkin mengubah penilaian kita terhadap kesalehan Ayub.
Sejak ps. 1 kitab Ayub sampai sebelum nas ini, kita hampir menyimpulkan bahwa Ayub adalah manusia luar biasa. Ia tidak saja berhasil dalam segala segi hidupnya (ayat 1:1-3), tetapi ia juga berhasil menerima penderitaan bertubi-tubi dengan sikap yang benar di hadapan Tuhan (ayat 1:13-22; 2:7-10). Ayub membuktikan bahwa tidak dengan menganut “teologi sukses” seseorang dapat hidup saleh, takut akan Allah, jujur, dan menjauhi kejahatan. Bahkan saat istrinya menganjurkan untuk mengutuki Allah, kesalehannya masih mengagumkan. Pada nas ini boleh kita menyimpulkan bahwa si penutur kisah Ayub ingin sekadar memaparkan apa adanya Ayub, yakni manusia biasa seperti Anda dan saya. Ayub bukan manusia sempurna karena tekanan derita yang amat berat, tidak lagi dapat ditanggungnya. Reaksi wajar Ayub terungkap sesudah para sahabatnya berempati. Meskipun begitu, Ayub tidak menghujat Tuhannya!

Keluh, ratap, tangis adalah ungkapan wajar dari orang yang menderita. Alkitab tidak membenarkan dan tidak menyalahkan. Hanya jika sikap ini dilakukan dengan tidak beriman atau melawan Tuhan, barulah berdosa. Sebaliknya, jika disertai pengakuan kedaulatan Tuhan, justru menjadi pernyataan iman. Untuk dapat beriman saat menderita, Tuhan tidak menuntut kita menjadi manusia luar biasa.

DATANGLAH KEPADANYA
Ayb 3:1-26

Elisabeth Kubler Ross, yang terkenal dengan bukunya, Death and Dying, menulis bahwa dalam menghadapi kematian, manusia melewati beberapa tahapan reaksi, dan salah satunya ialah keputusasaan. Tampaknya kondisi seperti itulah yang sedang dialami oleh Ayub. Ia tidak hanya telah kehilangan orang-orang yang dikasihinya, harta bendanya, tetapi juga tubuhnya terancam kematian. Saat itu, selain napas, tidak ada lagi yang tersisa dalam kehidupannya.

Dalam keputusasaan, manusia sering kali berpikir untuk segera mengakhiri hidupnya. Begitu pula dengan Ayub. Ia berharap untuk tidak dilahirkan, sehingga tidak pernah ada di dunia ini (ayat 3). Hidup yang dijalani terlalu menyakitkan dan baginya saat itu, kematian jauh lebih baik daripada kehidupan. Munculnya pertanyaan “mengapa” sebanyak empat kali menunjukkan sesal dan derita yang begitu dalam. Ayub mulai bertanya kepada Allah. Di dalam pertanyaan-pertanyaan tersebut, terkandung kekesalan dan kekecewaan kepada Allah. Ayub mempertanyakan kasih dan kedaulatan Allah. Apakah untuk yang dialaminya ini Allah menciptakan manusia? Untuk sikap Ayub ini, Tuhan belum meresponinya. Itu berarti Ayub masih harus menatap dan meniti hidup yang penuh kesesakan ini.

Respons Ayub terhadap penderitaan berkepanjangan yang dialaminya, menunjukkan reaksi kita yang sebenarnya terhadap penderitaan, yaitu bahwa reaksi pertama akibat penderitaan yang kita alami adalah kemarahan. Hal itu kemudian terus berlanjut dengan kemunculan berbagai tuduhan dan gugatan kepada Allah. Kita mulai memperhitungkan kebaikan-kebaikan yang kita lakukan. Memang, sekuat dan seteguh apa pun kita, tidak dapat dipungkiri bahwa ketika menghadapi kesusahan kita tidak selalu kuat. Namun demikian, walau usaha mencari jawaban atas penderitaan batin yang kita alami tidak mengalami kemajuan atau mungkin jalan buntu, penderitaan itu sendiri akan membuahkan kemantapan dan keteguhan sikap iman kita kepada Tuhan.

Renungkan: Kepada siapakah kita berkeluh kesah selain kepada Dia yang memedulikan kita?

PENDALAMAN AYAT
Wycliffe: Ayb 3:1-26
B. Ketidaksabaran Ayub (3:1-26).
Di antara puncak ketabahan rohani Ayub di bagian pendahuluan dan penutup terbentang jurang penderitaan rohani Ayub. Penurunan ke dalam dan pendakian ke luar dari jurang itu ditandai oleh beberapa perubahan sifat rohani yang dramatis dan mendadak. Perubahan-perubahan ini dilukiskan dalam nas-nas peralihan yang singkat (ps. 3; 42:1-6). Nas-nas peralihan yang pertama melukiskan lompatan Ayub secara tiba-tiba dan mengejutkan dari kesabaran ke dalam keputusasaan yang mendalam.
Wycliffe: Ayb 3:1 – Mengutuki hari kelahirannya
1. Mengutuki hari kelahirannya. Apakah yang mengubah madah pujian Ayub yang menunjukkan sikapnya yang tunduk kepada Allah menjadi kutukan yang tanpa kendali? Apakah ketahanan rohaninya sudah habis akibat penderitaan jasmani yang terus-menerus menderanya siang dan malam? Atau apakah dengan melihat rekan-rekan terhormat dari masa jayanya membuat ia mengingat kembali dengan jelas seluruh kehormatan dan kemakmuran masa lalu yang sudah sirna itu? Ataukah karena wajah para sahabat itu, yang terperanjat dengan rasa kasihan yang tak terucapkan, menunjukkan dengan jelas sekali keadaannya yang buruk saat itu? Bukankah kunci jawabannya terdapat di dalam identitas para sahabat Ayub tersebut sebagai “orang-orang yang mempunyai hikmat”? Kehadiran para ahli filsafat hidup tersebut membuat Ayub mau tidak mau akhirnya juga berfilsafat tentang pengalamannya yang menyedihkan itu. Namun makin bersungguh-sungguh Ayub mencari jawaban makin sadar dia akan tembok misteri yang meliputi dirinya. Ketika mencari Penyebab (the Why) Ayub tahu-tahu sudah kehilangan Jalan (the Way). Dihantui oleh kekhawatiran yang sangat bahwa Allah telah meninggalkan dirinya, Ayub mengutuk hidupnya yang terabaikan itu. Baik pada saat itu maupun kemudian Ayub tidak menggenapi nubuat Iblis bahwa dia pasti akan mengutuk Allah. Tetapi, dengan mengutuk kehidupannya sendiri, Ayub sebenarnya mencoba berdebat dengan Yang Berdaulat, yang telah menetapkan kehidupannya itu. Apa pun yang tidak disertai iman adalah dosa; oleh karena itu Ayub kemudian harus bertobat (bdg. 42:1-6) sebagai Cara untuk berdamai kembali dengan Allah.

SUMBER:
http://alkitab.sabda.org/commentary.php?book=18&chapter=3&verse=1