Seorang tokoh pada abad pertengahan, Martinus dari Biberach, pernah berucap dengan lantang… “Aku datang-entah dari mana, aku ini-entah siapa, aku pergi-entah kemana, aku akan mati-entah kapan, aku heran bahwa aku gembiraā€¯. Dari penggalan ungkapan ini, dapat dipahamai bahwa, tidak ada satu sudut pandang manapun yang sepenuhnya benar dan lengkap, sehingga dapat menangkap keseluruhan imaji dari sebuah obyek. Nah, bila obyek yang dimaksud adalah “bahagia”, maka semua orang pasti memiliki definisi masing-masing dan rasa masing-masing.
Lalu, apakah kita sedang bahagia? Ataukah kita pernah bahagia? Jika ditempatkan dalam ranah realitas, mungkin pertanyaan klasik ini dapat menjadi episentrum yang tak kunjung berujung.
Mari kita memulainya dari sini. Bahwa meskipun harmoni tentang kebahagiaan berada dalam serpihan-serpihan kenyataan, namun kebahagian itu selalu mempunyai titik simpul dari progeni tersendiri dari alam kehidupan setiap insan di dunia ini. Karenanya, kebahagian adalah hakikat (hakiki) tentangnya, yakni hakikat dalam hikayat tentang kebahagiaan itu sendiri. Jika demikian adanya, maka dalam menghadapi seluruh kenyataan dalam hidupnya,manusia adalah satu-satunya makhluk pencari kebahagiaan sejati, tetapi juga perusak akan kebahagiaan itu sendiri.