BANGSA YANG ACUH TAK ACUH


BANGSA YANG ACUH TAK ACUH
Ayat SH: Zefanya 2:1-3

Bersemangatlah dan berkumpullah, hai bangsa yang acuh tak acuh, sebelum kamu dihalau seperti sekam yang tertiup, sebelum datang ke atasmu murka TUHAN yang bernyala-nyala itu, sebelum datang ke atasmu hari kemurkaan TUHAN” (2:1-2). Demikianlah seruan Sang Nabi kepada penduduk Yerusalem.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) “acuh tak acuh” berarti tidak menaruh perhatian atau tidak mau tahu. Inilah masalah umat pilihan. Mereka cuek terhadap semua nasihat, seruan, kritikan para nabi. Mereka menganggap sepi nubuat para nabi. Padahal para nabi itu tidak bernubuat atas inisiatif sendiri, melainkan diperintah oleh Allah. Itu berarti mereka juga telah menganggap remeh Allah, yang telah mengutus para nabi itu. Padahal mereka adalah umat Allah.

Sesungguhnya, semua nubuat yang ada merupakan bukti kasih sayang Allah terhadap umat-Nya, seperti kasih orangtua kepada anaknya. Ketika anaknya berbuat nakal, tentu orangtua akan menegurnya. Mengapa? Karena anak itu adalah anaknya sendiri. Itu sudah merupakan kewajiban moral orangtua, bahkan merupakan keniscayaan. Tentu beda, jika yang berbuat nakal adalah anak tetangga. Meski mungkin menegur, tetapi bobot teguran pasti berbeda.

Karena itulah, Zefanya menasihati umat untuk mencari Tuhan, mencari keadilan, dan mencari kerendahan hati. Mencari merupakan bentuk kepedulian. Dan kepedulian merupakan kebalikan dari sikap “acuh tak acuh”. Mencari Tuhan berarti berbalik kepada Tuhan, bertobat, dan menghargai Tuhan. Sebab Tuhan telah menghargai umat-Nya. Nubuat meski bernada teguran merupakan bentuk penghargaan Tuhan kepada umat-Nya. Karena menghargai umat, maka Tuhan menegur. Sang Nabi mengajak umat untuk menghargai Tuhan! Caranya dengan menaati kehendak Tuhan! Untuk itu diperlukan sikap rendah hati.

Mencari Tuhan berarti menganggap Tuhan lebih tinggi, dan menempatkan diri kita dalam posisi lebih rendah. Itu jugalah yang meski kita lakukan selaku umat percaya masa kini! [YM]

e-SH versi web:http://www.sabda.org/publikasi/sh/2017/09/21/