DAMPAK POSTMEDERNISME TERHADAP GEREJA
Era postmodern yang dipandang mulai terbit pada tahun 1960an telah membawa perubahan besar-besaran bahkan pembalikan ide dan tren dari era sebelumnya, era modern. Era modern dicirikan dengan industrialisasi dengan simbol pabrik-mesin, sedangkan era postmodern dicirikan lonjakan informasi dengan simbol komputer.
Dampak postmodenisme terhadap gereja
1) Teologi
Dalam bidang teologi, muncul pluralisme yang memandang bahwa semua agama sederajat, setiap agama memiliki klaim mutlak bagi penganutnya sendiri, dan klaim absolut tentang kebenaran dianggap arogansi.
2) Spiritualitas postmodern
Dalam spiritualitas reformasi perspektif tentang keagungan dan takut akan Allah, kekudusan Allah dan salib Kristus menjadi faktor yang dominan. Dosa dan penghukuman dari Allah menjadi hal yang serius sehingga makna anugerah Allah dan korban Kristus sangat dijunjung tinggi. Gambaran ini dengan jelas tampak dalam pengalaman Yesaya, Paulus (Fil. 3:4-14), juga dalam kehidupan Luther dan John Owen.
Namun dalam spiritualitas postmodern prinsip-prinsip dasar itu telah sangat pudar bahkan lenyap. Allah dan kesempurnaan-Nya telah lenyap dalam spiritualitas pascamodern ini. Allah yang transenden dan Mahakudus disingkirkan sehingga imanensi dan kasih Allah dibesar-besarkan oleh manusia.
Masalah dosa dan pertobatan mendapat tafsiran baru berdasarkan hermeneutik psikologis. Dosa tidak diartikan dalam relasi dengan Allah melainkan “dosa” dalam arti hubungan dengan diri sendiri seperti kecemasan, kekecewaan, penderitaan, kehancuran keluarga, kekacauan di dunia, dan lain sebagainya.
Berbeda dengan spiritualitas reformasi yang dibangun berdasarkan kebenaran firman Tuhan, maka spiritualitas postmodern dibangun berdasarkan pengalaman subyektif yang bersifat supranatural dan psikologis.
Jalan menuju Allah dalam spiritualitas postmodern bukan lagi melalui Kristus. Jalan yang baru tersebut adalah melalui emosi, musik dan aktivitas fisik. David F. Wells menganalisis bahwa 58,9 persen lagu-lagu pujian pascamodern tidak mempunyai dasar doktrinal.
3) Moralitas baru
Dalam era postmodern ini manusia dinilai dari sisi kepribadian dan kompetensinya. Perubahan paradigma ini terjadi sejak pergantian abad duapuluh. Karakter didefinisikan sebagai baik atau buruk, bukan soal menakjubkan, mengagumkan dan kreatif. Sebaliknya “kepribadian” yang awalnya ditujukan pada pada tenaga penjualan, tidak lagi memperhatikan moralitas. Arahnya bergeser kepada yang mengagumkan, mengejar yang bersifat fisik dan psikologis, bukan yang religius dan etis. Kebahagiaan yang dicari bersifat materi dan psikologis, tidak memiliki kaitan dengan Tuhan dan moralitas.
Di tengah konteks demikian sebagian besar gereja mengikuti arus postmodernisme dengan menjadikan gereja sebagai “mal” alternatip bagi “konsumen” yang mengalami kekosongan jiwa, serta menawarkan ibadah dan khotbah terapeutis.
4. Teknologi komputer sebagai wahana
Falsafah, tren dan gaya hidup postmodern merambah dan mengakar secara khusus melalui wahana teknologi komputer. Ada 3 cara bagaimana “dunia layar” atau dunia screens (televisi, komputer, film, browsing web, beragam gadget dan sejenisnya) mempengaruhi kita. Pertama, dunia layar (screens) menyingkirkan diri kita secara kognitif dari lingkungan dengan memandang ke dalam ruang virtual (virtual spaces). Kedua, layar-layar beraksi mendorong kita memuja keinstanan / kesegaran (immediacy).
Dunia layar tidak menolong menumbuhkan kesabaran dalam diri kita, sebaliknya menumbuhkan nafsu keinstanan dan efisiensi, serta jalan pintas atas relasi kita. Padahal relasi-relasi dibentuk, dipertahankan, dan dirawat oleh firman yang diberitakan dan tertulis. Ketiga, screens menjadikan kita terlepas dan terisolasi, sekaligus pada saat yang sama membuat kita merasa terkoneksi.
Namun kita harus bersikap kritis terhadap screen-based media ini. Kita bisa memiliki daya kritis yang benar hanya jika kita bersandar padafirman atau “kata-kata” Allah, yakni Alkitab.
5. Menyikapi secara kritis-konstruktif-alkitabiah
Kita selalu membutuhkan wahyu khusus atau firman Allah agar dapat menggunakan mata kita dengan benar. Sebelum kejatuhannya dalam dosa, manusia selalu memerlukan firman Allah, Terlebih setelah kejatuhan dalam dosa, manusia lebih membutuhkan firman Allah agar dapat mengenal-Nya dan memperoleh keselamatan melalui Kristus, mengenal diri dan makna hidupnya serta relasinya dengan alam.
Tanpa firman Allah kita tidak bisa menafsirkan realita dengan benar. Saat Hawa menggunakan matanya terpisah dari firman Allah maka ia tertarik pada apa yang dilihatnya dan tertipu oleh perkataan (kata-kata) si ular yang menggodanya sehingga ia bertindak melawan perintah Allah. Jadi bimbingan firman Allah sangat penting agar mata kita dapat melihat denganb benar.
Sejak semua Allah telah menciptakan dan memakai medium bahasa – bukan gambar-gambar – untuk menuntun penginderaan kita dalam mengenal realita. Kita harus selalu bersandar pada firmanNya. Apayang kita lihat pada dunia layar harus selalu dipandu dan dikritisi dalam terang firman-Nya agar tidak disesatkan oleh tren dan falsafah postmodernisme.
SUMBER: Dikutip dari https://thisisreformedfaith.wordpress.com/