GERAKAN SALAF
Aden Rosadi
UIN Sunan Gunung Djati Bandung
adenrosadi@yahoo.com
https://media.neliti.com/media/publications/40375-ID-gerakan-salaf.pdf
Neo-Salafisme atau Islamisme: Kasus Indonesia
Neo-Salafisme berkembang di Indonesia di awal tahun 1990-an oleh seorang Indonesia keturunan Arab bernama Jafar Umar Thalib. Jafar mengidentifikasi dirinya sebagai “salafi”, merujuk kepada gerakan Islam yang bertujuan membangun kepercayaan merujuk pada contoh generasi pertama para pengikut Nabi. Gerakannya lebih tepat dipahami sebagai neo-fundamentalis atau neo-salafisme karena penekanannya pada masalah-masalah konservatif yang tidak berhubungan dengan salafisme periode awal. Hal tersebut antara lain meliputi pengasingan yang ketat terhadap wanita, bermusuhan dengan gaya hidup Barat, dan meyakini konspirasi dunia melawan Islam. Gerakan ini memahami hukum Islam secara formalistik dan positivistik, menolak pemahaman kontekstual (Hefner, 2002: 761).
Kalangan Islam radikal mengidealisasikan pandangan as-salaf as-salih – berharap agar masyarakat akan menjadi saleh dengan sendirinya – dan pada akhirnya melihat negara sebagai yang paling bertanggung jawab untuk menegakkan kepatuhan terhadap ajaranajaran Islam. Hukum Islam atau shariah menjadi jantung Islam radikal di Indonesia. Semua kelompok yang ada percaya bahwa implementasi syariah secara komprehensif menjadi kunci penciptaan masyarakat yang taat dan sangat mendukung penafsiran al-Qur’an secara literal.
Mereka berpendapat bahwa di Indonesia hingga kini shariah hanya sedikit sekali diimplementasikan dan terbatas pada hukum keluarga dan masalah-masalah ibadah. Ini artinya bahwa kekuatan etika dan hukum ilahi yang utuh belum dibawa ke dalam masyarakat sehingga melahirkan korupsi yang merajalela, ketidakadilan, dan amoralitas. Hanya dengan shariah yang mencakup semua aspek kehidupan, Indonesia bisa bebas dari multi krisis yang melanda bangsa saat ini (Fealy, 2004: 106- 107).3 3