Kebebasan Beragama, Dialog-Kolaborasi Antaragama dan Pluralisme (Dr.Th.Sumartana)
Kebebasan beragama dalam pemahaman Sumartana merupakan sebuah unsur yang sangat esensial baik dalam penyelenggaraan kesejahteraan serta keamanan kehidupan nasional maupun kesejahteraan dan keamanan internasional. Untuk Indonesia pada khususnya kebebasan beragama sangat terkait erat dengan kebutuhan untuk memberi tempat pada semua kelompok agama untuk melakukan proses emansipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan beragama. Ada tiga hal yang sangat mendasar untuk memberlakukan kebebasan beragama yaitu:
Pertama, kebebasan kehendak (free will) dari manusia yang mencari dan menemukan kebenaran dan keselamatan.
Yang kedua adalah menghargai hak-hak asasi manusia yang “pada dasarnya baik”, dan bahwa manusia harus bertanggung jawab atas segala perbuatannya sendiri.
Ketiga, kebebasan beragama tidak mungkin diperoleh jikalau masih ada dominasi agama yang satu terhadap agama yang lain, sehingga penafsiran teologis tertentu tentang agama menjadi kekuatan hukum untuk menentukan apakah sesuatu agama bisa dianggap sah sebagai agama atau bukan agama. 63
Setiap orang berhak memeluk agamanya yang dipahami benar oleh pengikutnya termasuk Konfusianisme. Meskipun secara teologis Konfusianisme berbeda dari kelima agama yang diakui pemerintah namun perbedaan itu tidak bisa dijadikan dasar untuk menolak Konfusianisme sebagai agama yang harus dihormati dan diakui di Indonesia.
Untuk mencapai kebebasan beragama tersebut perlu dikembangkan pemikiran theologia religionum yang bermuara pada dua cabang yaitu dialog dan kolaborasi antar-agama. Dialog bukan hanya mengakui hak untuk berbeda, melainkan menerima keabsahan dari pengalaman religius yang berbeda sebagai jalan menuju kepada kerajaan Allah. Dialog berbeda dengan polemik ataupun apologetika. Dalam dialog tidak ada agenda competition of truth, bukan sebuah festival untuk memilih agama mana yang paling hebat dan bukan pertarungan untuk merebut nomor satu dalam kehidupan pluralisme agama. 68 Sebaliknya, dalam dialog orang bisa belajar, menghayati agama lain dari dalam agamanya sendiri. Dalam dialog semua orang terlibat dalam perjuangan kemanusiaan bersama untuk mencari penggenapan dari Tuhan yang “masih tersembunyi.”
Tentu dalam dialog orang tidak perlu kehilangan identitasnya, sebagaimana diungkapkan Sumartana: “Orang bisa tetap berada dalam agamanya sendiri, meyakini dan setia pada agamanya sendiri, tanpa kehilangan peluang untuk menghargai agama yang lain.” Dengan mengutip perkataan Mencius (372-289 SM.), “Sesuatu yang lain yang kita temukan pada orang lain, adalah sesuatu dari diri kita sendiri (yang hilang dan ditemukan kembali)” Sumartana hendak menegaskan bahwa cara untuk masuk dunia pluralisme adalah dengan semangat dialog.
Untuk menciptakan hubungan antaragama yang lebih produktif dan kreatif memerlukan suatu perspektif baru dalam melihat the others. Pemikiran sektarianisme yang menganggap bahwa di bumi ini hanya ada satu agama yang benar tentu akan menimbulkan masalah dan konflik.
Pada masa kini (post-modern) pluralisme menjadi ciri esensial dari peradaban, maka menurut Sumartana pendekatan pluralisme merupakan pilihan keharusan. Pluralisme merupakan: “upaya untuk mendudukkan agama-agama dalam nilainya sendiri, yang secara intrinsik memiliki kebenaran yang diakui ada pada setiap agama.” Ada dua kata kunci penting dalam pendekatan ketiga ini, yaitu dialog dan kerjasama antaragama untuk kemanusiaan yang sama.
Diringkas dari:
TEOLOGI KRISTEN PROTESTAN TERHADAP AGAMA-AGAMA LAIN DI INDONESIA 1966-1990
Sukamto
Sekolah Tinggi Teologi INTI Bandung Email: amossukamto@gmail.com
Religió: Jurnal Studi Agama-agama
ISSN: (p) 2088-6330; (e) 2503-3778 V0l. 9, No. 2 (2019); pp. 197-221