MANUSIA SEBAGAI GAMBAR DAN RUPA ALLAH
1,Apakah istilah “gambar” berbeda dengan “rupa. Dapat dijawab secara pasti bahwa dua kata tadi konteks Kejadian 1:26 adalah sinonim, walaupun dalam kasus lain dua kata ini kadangkala dipakai secara berbeda.
2.Sebagian penafsir memandang penggunaan dua kata berbeda yang dimaksudkan sebagai sinonim ini bukan hanya sebagai bentuk penekanan, tetapi juga penjelasan. Maksudnya, segambar dengan Allah harus dipahami dalam konteks keserupaan dengan Dia. Manusia memang gambar Allah, namun manusia tetap hanyalah serupa dengan Allah, bukan identik.
3.Penjelasan di atas membawa kita pada satu kesimpulan bahwa walaupun manusia adalah gambar dan rupa Allah, tetapi mereka secara hakekat bukanlah Allah. Manusia dalam taraf tertentu memang merefleksikan apa yang ada dalam diri Allah, namun mereka tetap tidak identik dengan Allah.
4.APA ARTI KESERUPAAN DENGAN ALLAH ?
4.1.Pertama, manusia adalah wakil Allah untuk menguasai bumi. Penciptaan manusia sebagai gambar dan rupa Allah di Kejadian 1:26 dihubungkan dengan dominasi manusia atas ciptaan lain. Berdasarkan struktur kalimat Ibrani yang dipakai, kata sambung weyang menghubungkan frase “marilah Kita menjadikan” dengan “mereka berkuasa” bisa dipahami sebagai “dan” (mayoritas versi) atau “supaya” (LAI:TB/NET). Pilihan manapun yang dipilih, konsep “manusia sebagai gambar/rupa Allah” tetap melibatkan unsur penguasaan bumi. Konsep inilah yang ada dalam pikiran pemazmur (Mzm 8) ketika ia mensyukuri kehormatan dan kemuliaan manusia dalam kaitan dengan otoritas atas alam yang diberikan oleh Allah (8:6-7).
Konsep di atas memilik kesamaan dengan sekaligus kontras terhadap mitologi kuno. Menurut budaya dan keagamaan kafir waktu itu, raja atau penguasa dianggap sebagai wakil dewa yang menjembatani antara dewa dan masyarakat. Kesejahteraan suatu negara atau masyarakat sangat ditentukan oleh bagaimana raja tersebut menyenangkan hati dewa. Perbedaan antara konsep mitologi kuno dan Alkitab terletak pada cakupan gambar/rupa Allah. Kejadian 1:26-28 mengajarkan bahwa semua orang – tidak terbatas pada kaum bangsawan/raja – adalah gambar dan rupa Allah. Ajaran ini merupakan kritikan terhadap sistem sosial kuno waktu itu. Konsep ini seharusnya membebaskan manusia dari perbudakan kelas sosial yang sangat menekan yang dilakukan oleh pihak penguasa.
4.2.Kedua, manusia adalah refleksi Allah dalam hal ketunggalan dan kejamakan. Sebagaimana sudah sempat disinggung di bagian sebelumnya, ide tentang “kesatuan dalam kejamakan” ada dalam diri Allah (1:26-27) maupun manusia (1:27; 2:18, 24). Dalam taraf tertentu Allah adalah jamak (“Marilah Kita…gambar dan rupa Kita…”), tetapi Ia juga tunggal (“…gambar-Nya…”). Begitu pula dengan manusia yang memiliki aspek ketunggalan (“…manusia itu..diciptakan-Nya dia…) dan kejamakan (“…diciptakan-Nya mereka…laki-laki dan perempuan…”). Di satu sisi Adam dan Hawa adalah satu (sama-sama manusia [1:27] dan satu daging [2:24]), namun di sisi lain mereka terpisah dari sisi jenis kelamin. Ini pula yang menjadi alasan mengapa perbedan jenis kelamin manusia diutarakan secara eksplisit (1:27) sedangkan binatang tidak (1:24-25). Perbedaan jenis kelamin ini sekaligus menjadi penjelasan bagi keserupaan manusia dengan Allah dalam aspek fisik juga, seperti yang telah disinggung di depan. Maksudnya, perbedaan fisik di antara Adam dan Hawa (1:27) serta kesatuan hakekat mereka (1:24) merupakan refleksi sempurna dari kejamakan dan ketunggalan dalam diri Allah. Sebagaimana dalam diri Allah terdapat ketunggalan (dalam hakekat) dan kejamakan (dalam hal Pribadi), demikian pula dalam diri manusia terdapat ketunggalan (hakekat) dan kejamakan (jenis kelamin yang berbeda dan dua individu yang berbeda).
4.3.Ketiga, manusia adalah keturunan Allah. Konsep ini didasarkan pada Kejadian 5:1-3. Dalam teks ini dikatakan bahwa Allah menciptakan Adam menurut rupa-Nya (5:1). Selanjutnya Adam memperanakkan Set menurut rupa dan gambarnya (5:3). Walaupun Set tetap adalah gambar Allah (bdk. 9:6), namun dalam konteks ini ia secara khusus disebut sebagai gambar Adam. Keserupaan ini juga dikaitkan dengan konteks perkembangbiakan manusia (1:26-28 dan 5:1-3, 4-31). Dari teks ini dapat disimpulkan bahwa konsep “gambar dan rupa” memang melibatkan aspek keturunan. Walaupun pengertian “keturunan” antara Allah – Adam dan Adam – Set berbeda, namun ide tentang keturunan tetap tidak bisa dipisahkan. Dengan kata lain, manusia sebagai gambar Allah berarti manusia adalah keturunan Allah.
Konsep di atas mendapat dukungan dari sumber lain. Injil Lukas 3:23-38 memaparkan silsilah Yesus sampai kepada Adam (keturunan secara biologis), tetapi di bagian akhir ia menambahkan bahwa Adam adalah anak Allah (keturunan secara teologis). Paulus di tempat lain juga mengiyakan bahwa manusia adalah keturunan Allah (Kis 17:28).
SUMBER:
http://rec.or.id/article_783_Apakah-arti-Manusia-diciptakan-menurut-gambar-dan-rupa-Allah?