MENYINGKAP MISTERI DERITA

Menyingkap Misteri Derita (?)

http://jpicofmindonesia.com/2016/09/menyingkap-misteri-derita/

23/09/2016

0

1401

Peter C. Amanm OFM

Tulisan ini tidak hendak mengupas-tuntas persoalan penderitaan secara komprehensif. Yang ditawarkan di sini adalah suatu pemikiran dan refleksi sederhana, tentang fakta dan pengalaman penderitaan, serta bagaimana Kitab Suci dan Ajaran Gereja merefleksikannya.

Refleksi atas Derita

Fakta penderitaan dalam hidup manusia, merupakan tema teologi yang amat menantang. David Hume di abad ke-18, mengajukan sejumlah pertanyaan kritis: apakah Allah ingin melenyapkan penderitaan, tetapi tak mampu? Allah tak berdaya. Apakah Allah sesungguhnya dapat mencegah penderitaan, tetapi tidak mau? Kalau demikian maka Allah jahat. Atau, apakah Allah sesungguhnya bisa dan mau mengatasi penderitaan? Tetapi mengapa tetap ada penderitaan?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini diupayakan para teolog melalui apa yang disebut “theodicea” – menjelaskan mengapa ada penderitaan di dunia. Theodicea mengedepankan sekurang-kurangnya tiga pendekatan terhadap penderitaan: pertama, retrospektif, kedua, prospektif, dan ketiga, teologi proses.

Retrospektif

Menurut paham retrospektif, dunia dikuasai dua kekuatan: kekuatan baik dan jahat. Dunia (manusia) adalah tempat bertarung dari dua kekuatan itu. Sesewaktu yang jahat menang, lain waktu yang baik menang. Penderitaan muncul jika kekuatan jahat memenangi pertarungan; sebaliknya kebaikan muncul jika kekuatan baik menang.

Paham ini berciri dualistis, tidak sejalan dengan pandangan Kristiani. Iman Kristiani mengajarkan hanya satu Allah, yang berkuasa dan berdaulat. Tidak mungkin ada kontradiksi dalam diri Allah. Tidak mungkin Allah sekaligus baik dan juga jahat.

St. Agustinus, St. Thomas Aquinas dan para pemikir lainnya berpendapat bahwa kejahatan itu sesuatu yang tidak “ada” pada dirinya. Kalau ada yang jahat maka menurut mereka hal itu adalah akibat dari “tidak adanya kebaikan”. Mereka menemukan inspirasi untuk menjelaskan kejahatan dalam Kitab Kejadian 3. Kejadian 3 mengisahkan bahwa kejahatan masuk ke dalam dunia ketika manusia dan para malaikat melakukan dosa, yakni melawan Allah sebagai kebaikan tertinggi. Mereka menolak kebaikan dan memilih bukan kebaikan, atau dosa (kejahatan). Dosa (Kejahatan) membuka pintu masuk bagi pelbagai macam jenis penderitaan dalam hidup manusia (kematian, sakit, kejahatan-kejahatan, dosa, penyakit dllsb.).

Kejahatan menyebabkan penderitaan. Allah tidak mengehendaki kejahatan, tetapi manusia memilih kejahatan dan menolak kebaikan. Ketika manusia memilih kejahatan, maka penderitaan adalah konsekuensinya. Theodicea seperti ini tetap tidak dapat menjelaskan realitas penderitaan secara memuaskan. Jika kejahatan disebabkan oleh dosa (asal), apa yang menyebabkan dosa itu terjadi? Kan Allah bisa mencegah manusia atau malaikat melakukan kejahatan melawan Dia. Mengapa Allah tidak mencegahnya? Masalahnya tetap tidak terpecahkan. Selanjutnya, masih ada pertanyaan lain: mengapa semua manusia harus menanggung penderitaan akibat dosa yang dilakukan manusia pertama itu? Bagaimana memahami bahwa Allah yang mahabaik itu membiarkan atau mengizinkan penderitaan dialami manusia, termasuk anak-anak tak bersalah? Theodicea retrsopektif ini, belum memuaskan dalam menjawab persoalan penderitaan.

Prospektif

Gagasan kedua adalah prospektif. Menurut gagasan ini, penderitaan mesti dipahami dari maksud yang akan dicapai atau diperoleh manusia dari (melalui) penderitaan. Ada dua tokoh yang memberikan inspirasi bagi gagasan prospektif, yakni Ireneus dari Lyon dan F.D.E. Schleiermacher. Mereka menginspirasi para tokoh theodicea eskatologis seperti John Hick dan R. Swinburne. Menurut gagasan prospektif, sakit dan derita, cobaan dan dosa, merupakan hal-hal yang dibutuhkan manusia agar manusia sungguh berkembang sempurna dan layak berbagi kehidupan bersama Allah.

Jika tidak ada kejahatan yang menantang manusia untuk mengalahkannya, manusia tidak dapat berkembang secara memadai dalam memiliki kekuatan untuk berada bersama Allah. Kejahatan “menutup” kebaikan Allah. Manusia mesti menyingkapkan kebaikan itu melalui pengalaman penderitaan. Kehidupan manusia ibarat suatu perjalanan. Melalui perjalanan itu manusia berkembang mencapai kemampuan untuk mengenal dan mengasihi Allah, sehingga dia semakin penuh dan bebas menghidupkan kerinduannya akan Allah.

Gagasan lain tentang theodicea prospektif ditemukan dalam karya-karya Teihard de Chardin. Dia menemukan inspirasi dari surat-surat Paulus yang berbicara tentang Kristus kosmik dan kenyataan berkembangnya komunitas manusia menjadi komunitas global. Menurut Teilhard manusia seluruhnya sedang menuju titik “omega”, di mana Kristifikasi (peng-Kristus-an) alam semesta akan terwujud dan segala sesuatu dipersatukan dalam Kristus. Kejahatan merupakan bagian dari seluruh proses itu. Penderitaan senantiasa hadir dalam proses pertumbuhan dan perkembangan. Seorang perempuan yang melahirkan, mengalami penderitaan dan hal itu merupakan bagian dari proses kehadiran kehidupan baru, yang merupakan suatu kebahagiaan. Manusia menderita, juga karena merusak alam. Memulihkan keutuhan alam itu tak mudah, sulit, tetapi mesti ditempuh jika ingin bahagia. Jika manusia tidak mau binasa, mesti membangun dunia baru – another better world is possible.

Theodicea prospektif ini bukan tanpa masalah. Mereka mencoba menjelaskan tentang sesuatu yang “kabur” (penderitaan) dengan sesuatu “kekaburan lainnya” (kebaikan yang akan dicapai setelah penderitaan). Sulit memahami perbedaan antara Allah itu ada tetapi tak berdaya, dan gagasan ateis bahwa Allah memang sesungguhnya tak ada. Selain itu, gagasan prospektif menampilkan sosok Allah sebagai “guru yang kejam” – yang mendidik anak-anak supaya menjadi baik dengan cara-cara yang kasar (penderitaan). Apakah Allah tidak memiliki pedagogi yang lebih baik dari itu? Tidak setiap orang dapat menjadi baik atau mencapai kebaikan melalui penderitaan yang dialami. Malah sebaliknya, manusia menjadi lebih menderita dan lebih buruk keadaannya.

Selain itu, apakah memang manusia sungguh berkembang menuju parusia? Horor Perang Dunia I merusak semua teori-teori tentang perkembangan manusia yang begitu optimis pada abad 19. Apakah pelajaran tersebut sudah dilupakan? Theodicea prospektif mengatakan bahwa semua kejahatan di dunia ini baik dan dibutuhkan bagi hidup manusia. Dosa itu jahat, namun harus dikatakan bahwa dosa itu baik dan diperlukan, sehingga manusia tidak perlu mencegah dosa (yang sebenarnya merusak kebaikan yang diciptakan Allah). Apakah betul demikian? Theodicea prospektif tidak memecahkan masalah, malah menyebabkan masalah baru.

Teologi Proses

Gagasan ketiga, berupaya meluruskan istilah-istilah yang digunakan untuk mencegah munculnya persoalan-persoalan seperti sudah dikemukakan di atas. Para teolog proses, seperti J. Cobb dan L. Ford mencoba merumuskan kekuasaan Allah, sebagai suatu kuasa persuasif, dan bukan merusak. Kuasa Allah itu persuasif. Kejahatan masuk ke dunia sebagai akibat dari perkembangan yang terjadi atau akibat penolakan terhadap rancangan Allah yang baik bagi manusia.

Theodicea proses ini juga bermasalah karena di dalamnya terkandung gagasan bahwa kebaikan Allah itu dapat ditaklukkan oleh kejahatan. Selain itu kekuasaan Allah itu begitu minimal, tidak begitu menarik dan hanya bersifat persuasif, sehingga kejahatan tetap dengan mulus masuk ke dalam dunia. Sejumlah teolog lain mempertahankan gagasan bahwa semua kejahatan yang ada merupakan akibat tidak adanya kebaikan; dan bahwa kasih Allah itu tersembunyi dan kebaikan-Nya tidak mencapai semua orang. Kalau demikian maka Allah merupakan pribadi yang “parsial” – baik kepada sejumlah orang dan tidak baik kepada yang lain. Gagasan ini tidak mudah diterima.

Sejumlah teolog kemudian mencoba merefleksikan tentang bagaimana Allah membiarkan kejahatan masuk ke dalam dunia; dan kemudian membangun argumen untuk menerima kenyataan akan adanya Allah di satu pihak dan adanya penderitaan di pihak lain. Gagasan yang antara lain diajukan A. Platinga ini, dikenal dengan Mempertahankan Kehendak Bebas. Tetapi itu pun tidak memecahkan masalah. Penderitaan tetaplah misteri. Tetapi dari gagasan itu ada sejumlah hal yang patut diterima yakni iman bahwa Allah pasti memberikan jalan keluar dari penderitaan bukanlah sesuatu yang tidak masuk akal (irasional). Mengimani Allah di hadapan pengalaman penderitaan, kendati tidak dapat diatasi, tetaplah sesuatu yang masuk akal. Tentu tetap ada persoalan, yakni mengapa mesti memiliki iman pada Allah, atau bagaimana orang memelihara dan mempertahankan imannya kendati dalam keadaan penuh derita? Persoalan-persoalan serupa ini tidak dapat dijawab dengan mudah.

Derita mesti dihadapi, bukan dijelaskan.

Terhadap fakta penderitaan ada begitu banyak upaya refleksi, baik filosofis maupun teologis. Penjelasan-penjelasan seperti itu, tetap tak dapat mengurai benang kusut penderitaan. Jawaban tuntas, sulit ditemukan, malah muncul persoalan baru.

Dari pengalaman hidup, ditemukan bahwa manusia dapat menghadapi penderitaan, melalui praksis solidaritas. Di hadapan penderitaan, orang-orang beriman Kristiani belajar bagaimana menghadapi penderitaan dengan melakukan karya-karya kasih baik secara rohaniah (spiritual) maupun secara konkret. Memiliki belaskasih, amat baik bagi yang menderita dan bagi yang menolong. Kehilangan belaskasih berarti semakin menderita, karena penderitaan tidak untuk dienyahkan atau dijelaskan, tetapi dihadapi.

Di hadapan fakta keberdosaan, yang dapat dilakukan setiap pribadi, orang-orang beriman Kristiani, adalah mengakui dan menerima kenyataan keberdosaan. Begitu mudah manusia membuat kisah-kisah indah untuk mengaburkan atau menutup kejahatannya, serta menghilangkan tanggungjawab terhadapnya. Penderitaan dan kehancuran yang disebabkan oleh dosa akan semakin hebat jika manusia menyangkal dan mengingkari dosa yang diperbuat. Ketika manusia menyangkal dosanya, berarti dia menolak pengampunan dari Allah. Menerima dan mengakukan dosa-dosa yang dibuat, tidaklah mudah bahkan menakutkan; karena meminta dan menerima pengampunan berarti menerima tugas untuk melakukan pembaharuan total dalam hidup (pergilah dan jangan berbuat dosa lagi!): rekonsiliasi.

Di hadapan kejahatan sosial, struktur yang menindas dapat merusak manusia. Orang-orang Kristen mesti berani mengakui dan kemudian menghentikan peran dan partisipasi mereka dalam menciptakan dan melanggengkan kejahatan sosial itu. Struktur-struktur yang tidak adil, serta kekerasan dan eksploitasi, telah menyebabkan banyak manusia menderita dan menjadi korban.
Kejahatan struktural akan lebih jahat dan buruk pada manusia jika tidak diakui; jika manusia menyangkal telah menyebabkannya, dan mengingkari mereguk keuntungan dari sana, dari penderitaan sesama kita. Mengingkari partisipasi dan peran dalam membangun dan melanggengkan kejahatan struktural, berarti menolak perubahan dan pembaharuan (rekonsiliasi).

Mengatasi kejahatan sosial, mesti dimulai dari menerima dan mengakui peran melakukan dan menikmati keuntungan dengan mengeksploitasi sesama. Dituntut komitmen untuk mengubah dan merombak struktur, demi pembaharuan masyarakat secara keseluruhan, dengan menciptakan struktur-struktur yang adil dan benar.

Kitab Suci dan Ajaran Gereja

Uraian di atas sekurang-kurangnya menegaskan satu hal bahwa penderitaan tidak dapat dilepaskan dari kejahatan. Tradisi Kristiani menolak pandangan bahwa penderitaan dan kejahatan disebabkan oleh Allah. Kejadian 1, mengemukakan bahwa semua yang dijadikan Allah baik adanya. Penderitaan merupakan dampak dari proses yang terjadi dalam alam semesta dan dampak kebebasan manusia, dengan menyalahgunakan kebebasan.

Kitab Suci PL menyajikan perkembangan refleksi teologis tentang penderitaan. Dalam Kej.3:16-19, penderitaan dilihat sebagai hukuman Allah atas dosa. Seiring perkembangan rasa kesatuan sebagai bangsa, penderitaan dilihat sebagai reaksi dari Allah atas dosa manusia (pribadi – sosial). Perbuatan jahat seseorang menyebabkan penderitaan pada keluarga, bangsa dan generasi yang akan datang (bdk. Bil. 12:1-15; Ul.28:15-46; 2 Sam 24:10-17). Yehezkiel mengoreksi dengan mengatakan bahwa akibat dosa seseorang harus ditanggung oleh orang itu sendiri (Yeh 18:1-32).

Tetapi Yehezkiel tak menjawab persoalan penderitaan orang-orang tak bersalah. Kitab Mazmur menyuarakan tangisan orang-orang baik yang diperlakukan tidak adil oleh para penjahat yang malah makmur hidupnya (Mz. 7; 34; 88). Akhirnya Ayub hanya memberikan nasehat bahwa di hadapan kebijaksanaan Allah yang sulit dipahami, manusia hanya dapat diam (Ayub 42:1-6). Tulisan sesudah pembuangan lainnya memberikan jawaban atas penderitaan manusia dengan mengajukan konsep tentang keadilan eskatologis yang akan memberikan ganjaran kepada yang baik dan hukuman kepada yang jahat (Dan 12:1-3; 2 Mak.7:9.11.23).

Pengalaman pembuangan mendorong sejumlah Nabi menginterpretasikan penderitaan sebagai sarana bagi pertobatan pribadi dan bersama sebagai bangsa (Yes.25:8; 35:4-10; Yer 31:15-20). Nyanyian Hamba Yahweh dari Yesaya menafsirkan penderitaan Israel selama pembuangan sebagai tebusan atas dosa seluruh bangsa (Yes 42:1-4; 49:1-7; 50:4-11; 52:13-53:12).
Gagasan Yesaya ini membantu penulis PB memahami penderitaan Yesus sebagai tebusan atas dosa seluruh umat manusia (1 Pet 2:24; Rm 3:25). Penderitaan dan kematian Yesus merupakan jalan untuk mendamaikan semesta alam dengan Allah (Kol 1:20-21). Kesatuan dengan penderitaan Yesus merupakan jalan untuk mencapai kemuliaan bersama Dia, kemenangan atas dosa dan maut (Rm 6:5: 7:4; 8:17). Dalam pandangan Kristiani penderitaan menemukan maknanya dalam kematian dan kebangkitan Yesus yang menyelamatkan.

Dampak negatif dosa menyebabkan manusia menderita, bukan hanya orang berdosa tetapi juga orang benar. Tetapi Yesus, Sabda pengampunan Allah, telah masuk ke kedalaman derita terdalam manusia, yakni keterpisahan dari Allah. Yesus telah menyatakan jawaban “YA” terhadap kasih Allah dan pemberian diri yang total. Kekuatan kasih-Nya telah mengalahkan dan bahkan mengubah kematian menjadi kebangkitan, serta memberi hidup ilahi kepada semesta alam (2 Kor 3:17-18). Jadi, tanggapan Kristiani terhadap penderitaan bersumber pada kekuatan Yesus yang bangkit, yang memulihkan manusia dari keterasingan dan cinta diri, kepada solidiaritas dan kasih (pemberian diri).

Teologi Vatikan II memfokuskan perhatian pada pandangan bahwa derita manusia tidak bermakna jika dilepaskan dari kematian dan kebangkitan Yesus (GS 21-22). Orang-orang Kristen diajak untuk mengatasi dan menyingkirkan pelbagai macam penderitaan secara aktif, khususnya penderitaan yang diakibatkan oleh struktur sosial dan politik yang tidak adil. Mereka diminta untuk menemukan pemecahan pada akarnya (AA 8;13; AG 5;12)

Warta Kristiani tentang Tuhan yang bangkit, bersumber pada Roh-Nya yang memampukan manusia hidup dalam keberadaan baru, hidup persekutuan dan belaskasih, bukan keterasingan dan penindasan. Inti pokok hidup baru dalam Kristus yang bangkit tidak memperkenankan orang Kristen masa bodoh dan tidak peduli pada setiap penderitaan, yang disebabkan dosa pribadi dan dosa sosial. Setiap orang Kristen diminta untuk mengatakan pada dirinya, “menggenapkan dalam dagingku yang kurang pada penderitaan Kristus ” (Kol 1:24). Karena dalam derita orang tak bersalah, Kristus sendiri menderita; Kristus sendiri terus bekerja.
Pemahaman Kristiani tentang penderitaan juga dilengkapi oleh kesadaran akan kesatuan antara roh dan tubuh, kesatuan antara derita rohani, mental, emosional dengan sakit badaniah. Kemajuan dalam ilmu pengetahuan kesehatan, sosial dan teologi telah membantu orang Kristen mengarahkan perhatiannya kepada kebutuhan akan penyembuhan luka-luka akibat penderitaan dalam jiwa dan kerohanian manusia.

Penemuan spiritualitas dengan kekuatan penyembuhan, kekuatan doa yang memberikan pemulihan dan perayaan sakramen, bantuan yang diberikan oleh konsultasi psikologis, serta bantuan medis dan ekonomi, telah membuat penderitaan semakin berkurang. Seluruh gaya hidup yang menekankan damai dalam hati, emosi, aktivitas kreatif, cinta, hubungan yang meneguhkan juga telah meningkatkan kesejahteraan manusia. Tetapi penderitaan, yang selalu ada dalam setiap bentuk kehidupan, mendorong orang Kristen untuk giat melakukan proses penyembuhan sepanjang hidup serta komitmen untuk menyembuhkan sesama.

Ketika bantuan yang diterima, tidak dapat mengatasi penderitaan, orang beriman diajak untuk menyelami misteri keberadaan manusia. Dalam situasi seperti ini, satu-satunya jalan terbuka adalah doa sebagai manusia tidak berdaya, memohon bantuan Allah dan keterbukaan hati untuk berserah diri pada derita Yesus (Mz 107:6.13.19.28; Lk. 22:42-43). Ketika menempuh jalan ini, orang beriman berharap mengalami Tuhan yang dekat pada mereka yang patah hati (Mz. 34:18; 147:3) dan didera derita tak tertahankan, kita berharap untuk tetap bertumbuh menjadi lebih sabar, bijak dan kuat.

Kehidupan mereka yang menderita secara demikian menyingkapkan kepada dunia keindahan dan keluhuran martabat manusia. Manusia dapat menemukan Tuhan yang menanggapi keluhannya dengan mengundang manusia untuk terus bekerja demi pemulihan dan kesembuhan dunia. Pengalaman derita membuka mata bagi pengalaman akan Allah yang dengan kasih-Nya mengubah bahkan kematian menjadi suatu masa depan mulia di mana Dia sendiri akan menghapus air mata kita (Rm 8:28-39; Why 21:4).

Akhir Kata

Penderitaan dan kegembiraan adalah ambiguitas hidup manusia yang tidak harus dipertentangkan, karena keduanya senantiasa membentuk keutuhan pengalaman hidup manusia secara manusiawi. Menemukan makna sejati penderitaan sama halnya dengan menemukan makna sejati kebahagiaan, sulit dirumuskan dan dibahasakan tetapi nyata dalam pengalaman.

Iman Kristiani membantu kita memahami bahwa penderitaan yang dihayati dalam kesatuan dengan Kristus merupakan jalan menuju kesatuan dengan dia dalam sukacita kebangkitan. Karenanya tak perlu disesali, tetapi diterima dan dijalani dalam kesatuan dengan Dia yang mengundang kita untuk datang kepada-Nya: “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberikan kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan” (Mt 11:28-30).