METODE STUDI AGAMA AGAMA
Al-Adyan: Jurnal Studi Lintas Agama 11 (1), 1-16
Oleh:Ahmad Zarkasi
Beberapa metodologi studi agama-agama: Metode; Teologi, Historis, Fenomenologis, Sosiologis, Antropologi dan Psikologis
METODE TEOLOGI
Pendekatan teologis berarti pendekatan kewahyuan atau pendekatan keyakinan peneliti itu sendiri. Realitas sejati dari agama adalah sebagaimana yang dikatakan oleh masing-masing agama. 2 pendekatan seperti ini biasanya dilakukan dalam penelitian suatu agama untuk kepentingan agama yang diyakini peneliti tersebut untuk menambah pembenaran keyakinan terhadap agama yang dipeluknya itu. Adapun yang termasuk kedalam penelitian teologis ini adalah penelitian-penelitian yang dilakukan oleh ulama-ulama, pendeta, rahib terhadap suatu subjek masalah dalam agama yang menjadi tanggung jawab mereka, baik disebabkan oleh adanya pertanyaan dari jamaah maupun dalam rangka penguatan dan mencari landasan yang akurat bagi suatu mazhab yang sudah ada.
Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen, dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subjektif, yakni bahasa sebagai pelaku, bukan sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran-teologis.
Pendekatan teologi dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk forma atau simbolsimbol keagamaan yang masing-masing bentuk forma atau simbolsimbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar sedangkan yang lainnya adalah salah. Aliran teologi yang satu begitu yakin dan fanatik bahwa pahamnyalah yang benar sedangkan paham lainnya salah, sehingga memandang paham orang lain itu keliru, sesat, kafir, murtad dan seterusnya. Demikian pula paham yang dituduh keliru, sesat, dan kafir itu pun menuduh kepada lawannya sebagai yang sesat dan kafir. Dalam keadaan demikian, maka terjadilah proses saling meng-kafir-kafirkan, salah menyalahkan dan seterusnya. Dengan demikian, antara satu aliran dan aliran lainnya tidak terbuka dialog atau saling menghargai. Yang ada hanyalah 1ketertutupan (eksklusifisme), sehingga yang terjadi adalah pemisahan dan terkotak-kotak.
Uraian di atas bukan berarti kita tidak memerlukan pendekatan teologi dalam memahami agama, karena tanpa adanya pendekatan teologis, keagamaan seseorang akan mudah cair dan tidak jelas identitas dan pelembagaannya. Proses pelembagaan perilaku keagamaan melalui mazhab-mazhab sebagaimana halnya yang terdapat dalam teologi jelas diperlukan. Antara lain berfungsi untuk mengawetkan ajaran agama dan juga berfungsi sebagai pembentukan karakter pemeluknya dalam rangka membangun masyarakat ideal menurut pesan dasar agama.
Sikap eksklusifisme teologis dalam memandang perbedaan dan pluralitas agama sebagaimana tersebut di atas tidak saja merugikan bagi agama lain, tetapi juga merugikan diri sendiri karena sikap semacam itu sesungguhnya mempersempit masuknya kebenaran-kebenaran baru yang bisa membuat hidup ini lebih lapang dan lebih kaya dengan pengetahuan.