ON BULLSHIT

“On Bullshit”: Omong Kosong Lebih Bahaya daripada Berbohong

https://kutukata.id/2020/06/27/sofia/on-bullshit-omong-kosong-lebih-bahaya-daripada-berbohong/

Frankfurt (penulis buku ON BULLSHIT )  kini guru besar emeritus filsafat di Princeton University, Amerika Serikat. Dia tentu saja membahas bullshit dalam bahasa Inggris, dan bukan dalam bahasa lain. Maka, tulisan ini akan tetap menggunakan bullshit, alih-alih omong kosong dalam bahasa Indonesia.

Bullshit sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai ‘omong kosong’. Keduanya sama-sama gabungan kata (The Oxford English Dictionary menyebut bullshit gabungan dari bull dan shit meskipun bull dan bullshit sama-sama berarti stupid or untrue talk or writing; nonsense). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, omong kosong bersinonim dengan bual dan cakap angin. Tapi, hati-hati menggunakan bual. Sebab, bagi penutur bahasa Melayu, bual bisa juga berarti ‘luapan air’ (seperti dalam kalimat Sungai Ciliwung membual kemarin sore) atau ‘pembicaraan serius dan bahkan ilmiah’ (seperti dalam kalimat Saya bertemu profesor itu dalam sebuah temu bual). Yang paling pas sebagai padanan bullshit tampaknya adalah ‘omong kosong’ atau ‘cakap angin’.

Mari kita kembali kepada On Bullshit. Selain mencoba menetapkan batas-batas bullshit, Frankfurt juga berupaya memahami bagaimana bullshit beroperasi memproduksi makna. Karenanya, buku kecil ini terbilang cukup menguras pikiran karena melibatkan pembahasan filsafat bahasa dan semiotika.

……………………………………………………………………………..

…………………………………………………………………………

Filsuf lain, yakni Max Black. Salah satu figur utama filsafat analitik asal Inggris ini mengulas kata humbug (dalam OED, lema ini berarti deceptive of false talk or behaviour) dalam esai “The Prevalence of Humbug”. Secara literal, Frankfurt mengatakan humbug dan bullshit tak memiliki perbedaan penting. Hanya rasa bahasa yang membuat kedua kata tersebut berbeda. Orang akan lebih nyaman mengatakan humbug daripada bullshit.

Di sinilah letak perbedaan antara bullshit dengan humbug dan berbohong. Konsep paling sentral bagi kebohongan adalah fakta yang salah (falsity). Pembohong secara sengaja mencipta dan menyebarkan kesalahan (falsehood). Tapi, apa yang esensial dari bullshit bukanlah kesalahan tapi pemalsuan (fakery). Ia bisa jadi tidak salah tapi jelas palsu (phony). Meskipun dibuat tanpa perhatian kepada kebenaran, bullshit tidak niscaya salah.

Menariknya, Frankfurt juga mengatakan pemalsuan atau palsu—terlepas dari persoalan otentisitas—tak mesti dipandang lebih rendah daripada yang asli atau riil. Sebab, yang palsu adalah “salinan persis” dari yang asli. Pandangan ini sekilas menyerupai konsep Jean Baudrillard tentang hiperrealitas. Menurut Baudrillard, simulasi atas realitas sulit dibedakan dari realitas karena yang pertama difabrikasi sedemikian rupa sehingga memiliki elemen-elemen realitas itu sendiri.

Seorang pembohong masih menghargai kebenaran. Karenanya, dia merancang kebohongan berdasarkan batas-batas objektif yang disyaratkan oleh kebenaran. Menurut Frankfurt, orang tak mungkin mencipta kebohongan tanpa mengetahui apa yang benar. Agar sebuah kebohongan efektif, pembohong merancangnya dengan memerhatikan syarat-syarat kebenaran. Dan ini, Frankfurt bilang, membutuhkan semacam keterampilan (craftmanship).

Sebaliknya, pelaku bullshit tak menyibukkan diri untuk merancang kesalahan. Karenanya, dia tak dibatasi oleh kebenaran. Apa yang dia lakukan adalah memalsukan konteks sejauh mungkin. Pelaku bullshit dalam hal ini memiliki lebih banyak kebebasan jika dibandingkan dengan pembohong.

Jika berbohong menggambarkan secara salah apa yang terjadi dan apa yang dipikirkan pelakunya, maka bullshit tidak melakukan kedua-duanya. Karena tidak mesti salah, bullshit berbeda dari berbohong saat menggambarkan apa yang ada dalam pikiran pelakunya. Pelaku bullshit tidak menipu kita, baik tentang fakta ataupun tentang apa yang dia pikirkan. Tapi, dia menipu kita tentang bagaimana sebenarnya fakta yang dia bicarakan itu terjadi. Dia menipu kita tentang apa yang seharusnya dia lakukan terkait dengan apa yang terjadi.

Orang jujur dan pembohong bermain dalam medan yang sama: kebenaran. Jika yang pertama tunduk kepada batasan kebenaran, maka yang kedua menentangnya. Tapi, pelaku bullshit sama sekali tidak tertarik dengan benar atau salah. Kepentingannya hanya dirinya sendiri, dan bukan apa yang dia katakan atau pikirkan. Dia membuat atau memungut pernyataan hanya demi kepentingan dirinya tanpa peduli apakah pernyataan itu mendeskripsikan realitas atau tidak. Yang penting dia bisa lolos dari apa yang dia katakan.

Seperti telah disebutkan, berbohong membutuhkan keterampilan (craftmanship). Tapi, jangan menyangka bahwa bullshit tak memerlukan ‘keahlian’ sebagaimana berbohong. Frankfurt tak setuju dengan anggapan bahwa bullshit lebih mudah dilakukan daripada berbohong. Karenanya, dia menolak definisi OED tentang lema bull session sebagai “pembicaraan informal” atau hanya omongan ngalor ngidul. Alih-alih keterampilan, bullshit, menurut Frankfurt, memerlukan seni (art). Jika berbohong membutuhkan keterampilan yang ketat dan teliti karena beroposisi dengan kebenaran, maka bullshit memerlukan lebih banyak imajinasi dan improvisasi karena lebih bebas dan independen.

Ada satu contoh yang mungkin bisa dikaitkan dengan bullshit baru-baru ini. Saat memperingati Hari Lahir Pancasila, seorang petinggi partai politik berkuasa menyatakan bahwa Pancasila kehilangan watak progresifnya akibat kapitalisme yang sudah menguasai politik dan ekonomi Indonesia. Jika menggunakan teori Frankfurt tentang bullshit, maka si politisi ini tak sedang berupaya menipu rakyat. Pernyataan itu benar: Pancasila telah digerogoti kapitalisme. Dia juga mungkin mempercayai itu dalam pikirannya. Tapi, si politisi tak peduli bagaimana kapitalisme bisa melemahkan Pancasila dan bagaimana partainya yang kini berkuasa menghadapi persoalan ini. Yang ada di kepalanya hanyalah bagaimana pernyataan itu bisa membuat diri atau partainya tampak antikapitalis.

Menurut Frankfurt, kita lebih nyaman atau jinak dengan bullshit daripada kebohongan. Sebab, omong kosong tampak tak menyakiti atau menyerang kita. Tapi, justru karena inilah, Frankfurt bilang, bullshit lebih berbahaya daripada berbohong.

Merujuk kepada kata shit (‘kotoran’) dalam bullshit, Frankfurt menyatakan, sebagaimana kotoran telah kehilangan zat dan vitamin dari nutrisi yang kita makan, maka demikian pula bullshit: telah kehilangan substansi informatifnya. Kotoran menyimbolkan kematian atau mayat makanan. Bullshit karenanya melambangkan kematian komunikasi. Tapi, seperti kotoran yang sangat dekat dengan diri kita, bullshit juga begitu lazim dalam budaya kita meskipun kita sama-sama jijik terhadap keduanya.[]

  • Judul Buku: On Bullshit
  • Penulis: Harry G Frankfurt
  • Penerbit: Princeton University Press
  • Terbit: 2005
  • Tebal: 69 halaman