1.Secara Alkitabiah, TUHAN adalah satu-satunya sumber iman dan Firman-Nya adalah dasar iman kita. Tanpa TUHAN dan Firman-NYA, tidak akan pernah ada iman, dan kita pun tidak membutuhkan iman. Sebagaimana hubungan antara TUHAN dan Firman-Nya, demikian pula seharusnya hubungan iman dengan Firman Tuhan. Iman selalu berkembang ketika Roh Kudus bekerja dan manusia menanggapi secara kooperatif.
2.Secara sederhana, iman tidak dapat datang dari manusia, atau atas inisiatif manusia, juga tidak dapat dilengkapi oleh manusia. Seperti yang pernah dikemukakan Paulus, “Iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus ….” “Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” (Roma 10:17; 11:36). TUHAN ialah yang pertama memberi kita Firman-Nya, dan Roh Kudus yang bekerja dalam cara yang khusus untuk membuat kita berbalik kepada TUHAN dari berhala-berhala untuk melayani TUHAN yang hidup dan yang benar (1Tesalonika 1:9).
3.Oleh karena itu, secara teologis, iman itu murni pemberian TUHAN. Adalah TUHAN, yang dalam kemurahan-Nya, menyatakan Firman-Nya kepada kita melalui wahyu, inkarnasi, pengilhaman dan penulisan Alkitab, dan penyataan, untuk membawa kita mendengar Firman-Nya dan menanggapi panggilan-Nya kepada pertobatan dan pengampunan dosa.
4.Namun, dari sudut pandang manusia, iman harus dimengerti sebagai tanggapan dan perilaku manusia yang sepantasnya serta aktual terhadap kehadiran TUHAN melalui penyajian Firman-Nya. Dalam teologi tradisional, Alkitab menggambarkan iman dalam 3 cara, yaitu, iman intelektual (noticia), iman perasaan (assensus), dan iman kehendak (fiducia); untuk mengindikasikan unsur-unsur intelektual, emosional dan kemauan dalam iman serta pengaruh-pengaruhnya pada keberadaan manusia, secara berurutan. Semua ini dihasilkan dari pekerjaan Roh Kudus melalui Firman dari penyajian Firman serta pernyataan-Nya.
5..Firman itu membuka hati manusia dan memperbarui pikiran mereka agar mereka dapat mengenal Allah dan wahyu-Nya. Demikianlah, manusia mulai mengetahui kebodohan, kesia-siaan, kebandelan dan kegelapan dari keberadaannya yang mula-mula. Di bawah penerangan Allah, pikiran kita mulai menyadari dan merasakan kesedihan yang mendalam akan kehidupan kita yang berdosa, kemudian dengan rela dan senang menyetujui teguran dari Roh, selagi hati kita tersayat dan berbalik kepada Allah (lihat Kisah Para Rasul 2:37). Akhirnya, kita dapat dengan bahagia mempercayakan diri kepada Allah dan Firman-Nya, dan menerima penghakiman-Nya tanpa syarat, untuk kemudian menerima anugerah pengampunan-Nya .
6..Sebenarnya, baik iman intelektual maupun iman perasaan adalah keadaan pikiran dalam alam intelektual dan emosional. Secara berurutan keduanya disebut “pengetahuan intelektual” dan “pengetahuan indrawi. Keduanya disebut “iman yang sementara,” karena keduanya dibatasi oleh hal-hal fisik dan eksistensial atau pengalaman. Karena fakta bahwa iman yang sementara berserah kepada bukti-bukti faktual dan fisik, maka iman sementara itu rentan untuk berubah dan menghilang dalam ruang dan waktu. Tidak diragukan, iman intelektual dan iman indra memiliki kepastian faktual; namun keduanya bersifat sementara sehingga tidak bertahan lama.
7.Sejauh berbicara mengenai iman, pengetahuan intelektual dan pengetahuan indera memerlukan keputusan yang berkemauan dan komitmen untuk menyelesaikan bagiannya. Keduanya membutuhkan penanaman Firman untuk membangun kepenuhannya untuk dapat disebut “iman yang sejati.” Dalam teologi, komitmen yang berkemauan disebut “fiducia”, atau ‘mempercayakan diri’ (trust). Dalam konteks ini, keimanan yang mempercayakan diri adalah suatu bentuk yang sama sekali berbeda dari iman. Iman yang mempercayakan diri tidak hanya peduli tentang kemauan, pilihan, keputusan, komitmen dan tindakan semata-mata. Sebenarnya, iman yang mempercayakan diri untuk dinilai oleh obyek iman, yang merupakan sasaran iman, bukan oleh iman itu sendiri.
Yang dipercaya, dan bukan yang memercayai, yang menentukan kepastiannya, maknanya dan nilai dari iman yang memercayakan diri itu. Dengan perkataan lain, dalam iman yang memercayakan diri, fokusnya bukan hanya kepada keputusan dan tindakan iman yang memercayakan diri itu saja; melainkan haruslah pada apa yang seseorang percayai dan siapa yang dia percayai.
8.Dalam doktrin kristiani, orang Kristen mempunyai dua objek iman yang memercayakan diri itu, yakni: Kebenaran atau Firman Allah dan Allah sendiri. Yang pertama disebut “iman berpreposisi” atau “iman doktrinal,” sedangkan yang kemudian disebut “iman relasional” atau “iman yang hidup,” yakni isi kebenaran atau isi kehidupan dari iman. Secara sederhana, itu berarti mengetahui apa yang engkau percayai dan siapa yang engkau percayai; dan mau mati bagi imanmu, seperti halnya mau hidup baginya (atau bagi-Nya) pada saat situasi mengharuskannya.
9.Signifikansi iman Kristen yang sangat menonjol adalah, bahwa iman Kristen memiliki Kebenaran sebagai presuposisinya; juga memiliki Kristus yang hidup, Sang Juruselamat, sebagai dasar hidup dan relasi bagi imannya. Dalam konteks seperti itu, iman percaya membuat seorang percaya tidak hanya rela mati bagi apa yang diyakininya, tetapi juga membuatnya mampu untuk terus menjalani apa yang diyakininya dalam kehidupan. Karena Ia hidup, maka kita hidup, dan kita akan melayani-Nya dengan gembira (Yohanes 14:19, 12:24-26). Karena memiliki iman yang mempercayakan diri seperti ini, kita dapat berseru seperti Paulus, “Karena bagiku hidup adalah Kristus …” dan “… hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku.” (Filipi 1:21; Galatia 2:20).
10.Dalam pandangan kristiani, kebenaran tidak hanya bersandar pada Allah yang kekal semata; kebenaran juga bersandar pada wahyu yang Allah telah berikan kepada manusia. Inilah alasan bagi kita untuk mengatakan bahwa intisari dari iman bukanlah pada fakta-fakta, atau keyakinan seseorang, ataupun pada kepercayaan diri seseorang atas fakta-fakta semacam itu, tetapi pada Firman Allah yang diwahyukan. Karena Firman berasal dari Allah yang kekal, Firman adalah saksi-Nya. Firman itu telah menjadi daging dalam Kristus dan tinggal di antara kita. Firman itu dinyatakan dan dipelihara oleh gereja yang telah ditebus Kristus. Untuk alasan ini, teologi menjadikan Gereja sebagai pelindung iman, sebagai yang memiliki simpanan iman. Alkitab menyebut gereja sebagai tiang penopang dan dasar dari Kebenaran. (1Timotius 3:15).
Sumber:
http://reformed.sabda.org/book/export/html/81
http://reformed.sabda.org/book/export/html/82