Fenomenologi Agama
Menuju Penghayatan Agama Yang Dewasa
Pius Pandor
Alumnus Fakultas Filsafat Univesitas Gregoriana Roma. Sekarang mengajar di Universitas Katolik Widya Karya, Malang
https://media.neliti.com/media/publications/232237-fenomenologi-agama-menuju-penghayatan-ag-d5b9a8de.pdf
ABSTRAK
Salah satu metode pendekatan dalam meneliti agama-agama adalah fenomenologi. Metode ini bertitik tolak dari fenomen-fenomen yang tampak pada kesadaran. Pengalaman penghayatan agama dalam perspektif fenomenologi berarti kita masuk dalam diskursus tentang kesadaran subjek akan fenomen-fenomen yang memungkinkan seseorang menangkap eidos atau hakekat agama. Lewat hal ini, ia akan mampu membedakan mana yang merupakan hakekat atau eidos dan mana yang merupakan manifestasi. Kemampuan ini selanjutnya memungkinkannya untuk menghayati agama secara dewasa. Subjek yang menghayati agama secara dewasa biasanya memiliki kemampuan untuk menerima dan merayakan perbedaan. Selain itu, ia selalu menyadari bahwa eksistensinya selalu berada dalam jalinan dengan eksistensi lain, sehingga eksistensinya disebut ko-eksistensi. Kesadaran akan ko-eksistensi pada akhirnya mengantar subjek untuk mengembangkan paradigma pro-eksistensi. Kesadaran akan ko-eksistensi ini teramat penting untuk senantiasa dipromosikan terutama di tengah maraknya kekerasan agama yang terjadi dalam ruang publik Indonesia.
KESIMPULAN
Diskursus filosofis tentang fenomenologi agama yang menjadi inti pembahasan dalam tulisan ini, kiranya menjadi stimulasi bagi semua yang berhendak baik untuk mengadakan “dikursus filosofis tentang apa itu agama” mengapa aku harus beragama, dan bagaimana penghayatan agamaku sehingga mampu mendekatkan diri dengan Yang lain (The Others). Diskursus ini pada gilirannya harus dapat mengantar kita pada penemuan hakekat agama. Ajakan ini semakin aktual dan mendesak, terutama ketika kita menemukan fenomena yang terjadi dalam ruang publik Indonesia akhir-akhir ini di mana ada jarak antara citacita agama dan realita kehidupan beragama. Agama yang seharusnya menjadi tempat untuk menemukan kedamaian, membangun solidaritas dan memperdalam iman, seringkali justru memiliki andil besar dalam membakar kebencian, membangkitkan salah pengertian dan mengundang konflik.
Fenomena di atas kiranya menjadi sinyal bagi kita untuk segara melakukan gerakan pro-eksistensi, sebuah gerakan yang berusaha merawat kehidupan bersama dalam semangat persaudaraan sejati, dan dialog yang mencerahkan. Pada titik ini tentu sangat dibutuhkan mata yang awas untuk melihat (to see) realitas keberagaman sebagaimana adanya, pikiran yang cerdas untuk menilai (to judge) dengan bijak, dan kaki yang cekatan untuk bertindak (to act) dengan penuh rasa tanggung jawab. Dengan demikian, kita akan mampu menampilkan wajah agama yang elegan, humanis, dan beradab.