PROF SARAH GILBERT

PROF SARAH GILBERT

Pendahuluan

Prof Sarah Gilbert dia adalah  salah satu ilmuwan di balik perancang vaksin COVID19 -Oxford/AstraZeneca.  Untuk jasanya ia diberi gelar bangsawan oleh Ratu Elizabeth II

1.Dikenal Cerdas Sejak Kecil

Gilbert lahir di Kettering, sebuah kota di Northamptonshire pada April 1962. Ayahnya bekerja di bisnis sepatu sementara ibunya adalah seorang guru bahasa Inggris dan anggota masyarakat opera amatir lokal. Gilbert menyadari bahwa ia ingin menjadi ilmuwan ketika masih di sekolah.

Ia pergi ke Kettering High School for Girls pada 1970-an di mana ia digambarkan sebagai seorang  yang pendiam, pekerja keras, dan sangat cerdas. Bahkan, saking pintarnya, ia memperoleh sembilan O-Level (Sertifikasi pendidikan) dengan enam nilai A.

“Ia (Gilbert) benar-benar berdedikasi di sekolah dan selalu bekerja sangat keras. Ia sangat berdedikasi dengan pekerjaannya.

“Kami sangat bangga dan senang bahwa ia pada akhirnya bisa membantu menyelamatkan dunia  (dari pandemi COVID-19),” ucap teman sekolah Gilbert, Michele Stock saat diwawancarai surat kabar lokal, The Northamptonshire Telegraph.

2.Kantongi gelar PhD hingga jadi pendiri perusahaan biotek Vaccitech

Mimpi untuk bekerja di bidang kedokteran membuat Gilbert begitu menggeluti dunia sains. Ini setidaknya tercermin dari riwayat pendidikan hingga pekerjaan Gilbert. Diketahui, Gilbert sempat mengenyam pendidikan di perguruan tinggi berbasiskan penelitian di Norwich, yakni University of East Anglia. Di sana, Gilbert mengantongi gelar Sarjana Sains di bidang ilmu biologi.

Setelahnya, ia pergi ke Universitas Hull untuk gelar doktornya, di mana dia menyelidiki genetika dan biokimia ragi Rhodosporidium toruloides. Gilbert lulus dengan gelar PhD pada tahun 1986.

Menurut BBC, Gilbert sebenarnya tidak pernah bermaksud menjadi spesialis vaksin. Namun pada pertengahan 1990-an, ia berada dalam pekerjaan akademis di Universitas Oxford, melihat genetika malaria. Itulah yang kemudian mengarahkannya pada pekerjaan untuk vaksin malaria.

Berbagai pengalaman itu akhirnya mengukuhkan posisi Gilbert menjadi Profesor Vaksinologi Universitas Oxford dan menjadi salah satu ahli vaksin Inggris ternama. Gilbert berspesialisasi dalam mengembangkan vaksin melawan influenza dan patogen virus yang baru muncul.

3.Bekerja cepat dan super keras untuk mengembangkan vaksin COVID-19

Uji coba kedua vaksin MERS baru saja dimulai ketika pada awal 2020, COVID-19 muncul di China. Gilbert pun segera menyadari bahwa ia mungkin bisa menggunakan pendekatan yang sama untuk mengembangkan vaksin COVID-19. Terlebih, COVID-19 dan MERS, kedua penyakit ini sama-sama disebabkan oleh virus corona dengan jenis berbeda. Pada dua penyakit itu, virus juga diketahui sama-sama menyerang saluran pernapasan.

“Kami bergerak cepat ketika para ilmuwan China menerbitkan struktur genetik virus baru,” kata rekan Gilbert di Oxford, Prof Teresa Lambe seperti dikutip dari BBC.

Melihat pawai kematian COVID-19 di seluruh dunia, Gilbert dan timnya pun makin bekerja keras untuk mempercepat pengembangan vaksin. Email masuk paling awal jam 4 pagi, kata Lambe, yang menjelaskan bahwa Gilbert cenderung bekerja dari pagi hingga larut malam.

Dengan kerja keras itulah, Gilbert dan rekannya mampu membuat vaksin dengan waktu hanya beberapa minggu di laboratorium.  Kemudian batch pertama mulai diproduksi pada awal April 2020. Akhirnya setelah berbagai uji coba, pada 30 Desember 2020, Inggris Raya menyetujui vaksin COVID-19 yang  dikembangkan Gilbert bersama dengan Oxford Vaccine Group.

4.Tidak ingin mengambil keuntungan dari pembuatan vaksin COVID-19 

Meski sukses mengembangkan vaksin Oxford/AstraZeneca, Gilbert tidak lantas menjadi ‘jumawa’. Ia dilaporkan begitu mengindari ‘pusat perhatian’ hingga enggan mengambil penuh atas hak paten vaksin yang ia rancang bersama timnya. Itu semua semata-mata agar vaksinnya bisa dijual dengan harga murah.

“Sejak awal, kami melihatnya sebagai perlombaan melawan virus, bukan perlombaan melawan pengembang vaksin lain. Kami adalah universitas dan kami tidak berada di sini untuk menghasilkan uang.

“Saya ingin buang jauh-jauh gagasan itu (mengambil hak paten penuh), agar kita bisa berbagi kekayaan intelektual dan siapa pun bisa membuat vaksin mereka sendiri,” ucap Gilbert seperti dikutip dari BBC hingga Reuters.

Hal senada juga telah disampaikan oleh AstraZeneca. Mereka pun mengaku telah menandatangani persetujuan dengan Oxford untuk tidak mengambil profit atas vaksin.

“Tudingan bahwa kami menjual ke negara lain untuk menghasilkan lebih banyak uang tidak benar. Kami tidak mengambil profit di mana-mana. Itu kesepakatan yang kami miliki dengan Universitas Oxford,” tegas CEO AstraZeneca, Pascal Soriot, seperti dilansir dari Health Policy.

Keputusan itu pun akhirnya berdampak pada harga vaksin Oxford/AstraZeneca yang lebih murah dari vaksin-vaksin buatan pengembang Barat lainnya, termasuk Johson & Johson, Pfizer, hingga Moderna.

SUMBER:

1.TEMPO.CO

Ilmuwan Penemu Vaksin AstraZeneca Diberi Gelar Bangsawan oleh Ratu Elizabeth II

https://dunia.tempo.co/read/1471765/ilmuwan-penemu-vaksin-astrazeneca-diberi-gelar-bangsawan-oleh-ratu-elizabeth-ii/full&view=ok

2.AKURAT.CO

6 Fakta Menarik Sarah Gilbert, Perancang Vaksin AstraZeneca yang Dapat ‘Standing Ovation’ di Wimbledon

https://akurat.co/6-fakta-menarik-sarah-gilbert-perancang-vaksin-astrazeneca-yang-dapat-standing-ovation-di-wimbledon?page=3