KABAR DUKA
Kabar wafatnya mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif di Yogyakarta pada Jumat 27 Mei 2022 mendatangkan duka bagi seluruh negeri. Sementara pada Minggu 29 Mei 2022 kabar duka kembali datang menyelimuti. Kali ini bagi komunitas Kristen Injili di Tanah Air. Pdt. Daniel Lucas Lukito, mantan Ketua Sekolah Tinggi Teologi SAAT di Malang, dikabarkan meninggal pada pukul 02.39 dini hari. Kepergian kedua tokoh ini selain mengundang duka, juga mengajak kita melihat kembali realitas yang tak terelakkan: suatu hari kita akan berpulang.“No party that never ends,” tidak ada pesta yang tidak akan berakhir. Semua orang akan meninggal dunia.
PERJALANAN MENUJU KEMATIAN
Dengan mengetahui kematian menanti di ujung hayat, kita dapat belajar memandang kematian sebagai pengingat kehidupan. Jika hari ini kematian belum tiba, berarti kita masih memiliki waktu. Kita memiliki kesempatan atas hidup kita, atas tindakan kita, dan arah yang ingin kita tuju. Setiap hari adalah kesempatan lain untuk mengambil sikap dalam hidup kita dan berjalan di dalam kebajikan. Seneca, filsuf Romawi yang hidup sezaman dengan Yesus Sang Filsuf dari Nasaret, percaya bahwa hidup sejatinya adalah perjalanan menuju kematian, maka setiap orang perlu berlatih mempersiapkan kematian sepanjang hidupnya. “Perlu seumur hidup untuk belajar bagaimana menjelang ajal,” ujarnya. Seneca benar dalam hal ini. Waktu kita memang terbatas. Sehebat dan sekuat apa pun tubuh kita saat ini, suatu hari akan sakit juga, melemah, tak berdaya, lalu mati.
Mempersiapkan Kematian secara Rasional
Jika filsafat Yunani-Romawi memandang kematian sebagai hal yang wajar dan jiwa manusia akan kembali ke alam, maka filsafat keilahian (teologi) bergerak melampaui pemahaman itu. Secara teologis, kematian tidak saja wajar, tetapi juga bukan akhir segalanya. Kematian akan mengantarkan jiwa manusia ke hadirat Sang Khalik, seperti yang Rabi Saulus katakan, “Beralih dari tubuh ini untuk menetap pada Tuhan.” Bahkan, tubuh fisiknya suatu hari kelak akan dibangkitkan pada kedatangan Sang Mesias kedua kali. Keyakinan akan kebangkitan ini mendorong orang untuk melihat kematian fisik sebagai “tidur” dan menanti-nantikan masa di mana “maut tidak akan ada lagi.”
AKULAH KEBANGKITAN DAN HIDUP
Hidup ini singkat. Layaknya sebuah perziarahan, kita adalah musafir yang sedang melakukan sebuah perjalanan pulang menuju kepada Sang Pemilik Hidup, ujar Budayawan Emha Ainun Nadjib dalam sebuah kesempatan. Kita mengingat suatu saat akan meninggalkan dunia ini, dan kita diundang untuk tidak resah akan bayangan kematian, yang bisa menjadi pemicu penderitaan dalam batin kita. Sebagian dari kita mungkin boleh dihiburkan oleh perkataan Yesus Sang Filsuf dari Nasaret, “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati.” Dan selagi kita masih hidup, kita diajak untuk memperhatikan dengan saksama bagaimana kita hidup agar tidak seperti orang bebal, tetapi seperti orang bijaksana.
DIRINGKAS DARI TULISAN:
Bukan Filsafat Kematian
Oleh Dhimas Anugrah
Pendiri Lingkar Filsafat (Circles) Indonesia, sebuah komunitas pembelajar di bidang budaya, filsafat, dan sains. Studi di Oxford Center for Religion and Public Life, Inggris.