Theologia Religionum (Dr.Th.Sumartana)
Pluralisme di masa sekarang didasarkan atas kesadaran yang semakin dalam dari setiap kelompok di masyarakat untuk beremansipasi dalam kehidupan bersama, mereka tampil bersama dan meminta pengakuan setara.
Dengan latar konteks pluralisme seperti itu, Sumartana berharap adanya sebuah zaman yang disebut dengan zaman emansipasi agama. Zaman ini ditandai, “ketika tidak ada satu hegemoni agama yang diakui. Semua agama adalah unik. Dan semua agama memiliki hak hidup yang sama.”
Agama yang seharusnya bisa menjadi benteng moral paling terakhir yang bisa mengempang segala bentuk kerusuhan sosial justru sebaliknya agama menjadi garda terdepan dalam menggerakkan berbagai kerusuhan sosial yang terjadi di tanah air. Ini merupakan bukti kegagalan pemaknaan manusia terhadap agama. Hal ini menurut Sumartana disebabkan oleh dua hal:
Pertama, kehidupan agama-agama selama ini sangat minim sumbangannya dalam menciptakan relasi-relasi sosial yang sehat dan terbuka. . . . Kedua, komunikasi antara agama yang satu dengan yang lain merupakan komunikasi yang tidak manusiawi. Agama-agama hidup dalam prasangka. . . . Agama-agama belum siap dengan sebuah pemikiran keagamaan yang terbuka dan positif untuk menjalin hubungan yang lebih manusiawi guna menyusun sebuah masyarakat yang bercorak demokratis dan emansipatoris. 50
Melihat kebuntuan atau bisa disebut juga dengan kemandulan teologi tersebut, Sumartana mengusulkan salah satu bentuk respons dalam menghadapi kenyataan pluralisme yaitu dengan cara mengembangkan format teologi yang bernama theologia religionum. Theologia religionum merupakan “upaya refleksi teologis untuk menempatkan pluralisme sebagai pusat perhatian dan pusat persoalan.”
Dalam merumuskan theologia religionum ada beberapa hal yang perlu diperhatikan a.l.:.
Titik Tolak Trinitas
Sumartana melihat perlunya menafsirkan Kristologi secara baru, sehingga mampu memberi tempat bagi agama-agama lain. Ia melihat bahwa Kristologi yang berkembang dalam gereja-gereja di Indonesia adalah warisan dari Kristologi zending. Gambaran Kristus di masa kolonial merupakan gambaran dari sebuah pusat yang memiliki kekuasaan penuh dan tidak terbuka bagi agama-agama. Dengan merujuk pemahaman Kristologi ala Paul Newman, Paul Knitter, dan Jon Sobrino, dia mengusulkan untuk merumuskan sebuah Kristologi yang bercorak liberatif dengan bertitik tolak pada Yesus historis dan Yudaisme: 58 sebuah Kristologi yang cocok dengan konteks Indonesia, Kristologi yang dirangkai dari kesadaran dan pemahaman tentang konteks dan teks. 59 Lebih dari itu, yang terpenting bagi Sumartana adalah agar pengakuan
Kristologi tidak dianggap sebagai satu-satunya kebenaran yang dipakai untuk membuat justifikasi bagi mereka yang berbeda pendapat. Lebih lanjut Sumartana mengatakan:
Dan yang lebih penting adalah bentuk dan cara mempertuhan Yesus tersebut, menurut hemat saya, tidak perlu dan tidak bisa dilakukan dengan cara menginjak martabat serta melecehkan integritas kepercayaan orang lain. Sebaliknya, kalau kristologi benar-benar dianggap penting dan pusat, sebaiknya ia dibangun sebagai jembatan untuk memanusiakan manusia.
Soteriologi
Sumartana sudah Menciptakan sebuah soteriologi yang memberi tempat pada agama-agama lain. Sumartana menyarankan supaya berangkat dari pneumatologi agama-agama, melalui pengakuan tersebut gereja menerima agama-agama selaku kehadiran Roh yang menyelamatkan.
Self Understanding
Theologia religionum merupakan reinterpretasi terhadap agamaagama lain dan sekaligus sebagai bentuk yang baru bagi gereja-gereja dan umat Kristen. Berfungsi sebagai jembatan untuk menghubungkan suatu umat agama dengan umat agama lain.
Diringkas dari:
TEOLOGI KRISTEN PROTESTAN TERHADAP AGAMA-AGAMA LAIN DI INDONESIA 1966-1990
Sukamto
Sekolah Tinggi Teologi INTI Bandung Email: amossukamto@gmail.com
Religió: Jurnal Studi Agama-agama
ISSN: (p) 2088-6330; (e) 2503-3778 V0l. 9, No. 2 (2019); pp. 197-221