Beragama di Bumi Indonesia
Jika agama dipahami sebagai semacam wadah bagi pengaruh eksistensial Tuhan kepada pengalaman eksistensial manusia, maka cara manusia mengekspresikan agama menjadi sangat penting. Fakta miris tentang banyaknya darah yang harus dikorbankan atas nama agama menuntut kita untuk melihat kembali bagaimana seharusnya beragama itu perlu kita jalankan. Ketersinggungan karena merasa agama yang diyakini dianggap remeh dan keliru, telah membuat cara sebagian manusia mengekspresikan agama semata-mata berbasis emosional dan kebencian. Radikalisme agama umat beragama yang tumbuh subur, bukan hanya di satu-dua agama tetapi hampir semua agama, menimbulkan pertanyaan mendasar, bagaimana mungkin atas nama Tuhan yang baik, manusia bisa berbuat tidak baik?
Perlu dicatat, bahwa era digital, mau tidak mau, telah membuat banyak tradisi dan dogma agama seolah tidak lagi relevan. Perkembangan teknologi membuat otoritas tradisional agama terasa sudah jauh ketinggalan zaman. Sehingga, persebaran informasi, termasuk segala macam berita bohong dan bentuk fitnah atas nama agama, terjadi sangat mudah. Banyak pihak tertentu dengan mudah menganalisis data melalui algoritma untuk memetakan wilayah yang rentan dengan konflik dan di situ dilakukanlah propaganda-propaganda untuk memecah belah. Munculnya era pasca-kebenaran, membuat orang beragama sulit meletakan kepercayaan mereka pada ajaran agama semata-mata, sebab yang penting adalah pengaruh emosi dan keyakinan diri sendiri. Eralogarita digital telah menantang cara manusia dalam beragama.
Indonesia, seperti dalam konsep Driyarkara disebut Negara-Pancasila, masih lebih beruntung. Pancasila telah menjadi simpul penghubung antar segala kerumitan dari kompleks perbedaan di antara masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia, apalagi di tanah Jawa, sama-sama menyakini bahwa aspirasi religius adalah sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan bersama di Nusantara ini.[6] Dengan “kesamaan” pandangan atas pentingnya nilai-nilai keagamaan untuk dipertimbangkan dalam kehidupan bersama, sebenarnya masyarakat Indonesia sendiri memiliki modal dasar yang sangat kuat untuk mewujudkan cara hidup beragama yang tidak saling menegasikan melainkan saling memperkuat. Seharusnya, sekalipun era digital menantang cara masing-masing anggota masyarakat dalam beragama, dengan modal dasar itu, Pancasila, kita tetap bisa memaknai nilai agama masing-masing secara mantap sekaligus mengekspresikannya dengan sesama manusia beragama tanpa kehilangan nilai-nilai baik dan positifnya.
Untuk mencapai titik itu, yang kini diperlukan di era digital ini adalah integrasi antara agama dengan perkembangan teknologi. Agama akan menemukan relevansinya, jika nilai-nilai agama itu sendiri berbaur dalam perkembangan teknologi. Otoritas keagamaan tidak boleh anti-teknologi hanya karena teknologi seolah telah menggantikan perannya dalam kehidupan manusia, melainkan berusaha menjadikan teknologi sebagai bagian dalam cara penyampaian nilai-nilai yang ada dalam agama itu sendiri. Penggunaan media sosial, misalnya dalam konteks katekese ajaran agama, harus dimanfaatkan agar agama sendiri dapat menjangkau setiap orang yang saat ini sudah hidup lebih intens dengan media sosialnya daripada realitas sosialnya.
Cara beragama yang dibutuhkan juga bukan lagi yang melulu terpaku pada tradisi keagamaan yang kaku dan tertutup, melainkan yang luwes dan terbuka. Dikotomi antara agama dengan teknologi, seperti disindir oleh narasi tekno-teologi, harus diselesaikan. Dampak buruk dari pendikotomian itu, sekurang-kurangnya menimbulkan dua soal: Pertama, konsep hidup beragama (dan ber-Tuhan) akan dianggap ketinggalan zaman dan karenanya akan jadi tidak relevan. Kedua, karena menutup diri bahkan dari teknologi dan segala informasi yang ada, cara beragama seorang individu lebih ditekankan pada kebenaran mutlak ciptaannya sendiri dan kemudian menolak yang lain di luar dirinya. Dengan begitu, yang ada hanya pertentangan satu sama lain antar umat beragama.
Era digital, khususnya dalam konteks hidup bersama sebagai umat beragama di bumi Nusantara ini, perlu dilihat secara menyeluruh. Kita tidak boleh sekadar menerima, tetapi juga tidak boleh sekadar menolak fakta perkembangan yang dibawa era digital. Kita harus proposional dalam mengambil sikap, apalagi dalam upaya mencari titik temu antara Tuhan, agama dan bagaimana kita berhubungan dengan sesama manusia dalam era dengan bayang-bayang jaringan saat ini. Tuhan, melalui eksistensinya memberikan pengaruh eksistensial dalam setiap pengalaman eksistensial manusia termasuk dalam pengalaman beragama.
Karena itu, jika pengalaman beragama itu mau diekspresikan, tidak lain harus mengarah pada nilai-nilai kebaikan dan positif terhadap sesama manusia. Hal ini juga sesuai dengan nilai Pancasila yang dihidupi di Indonesia ini. Era digital ini hanya mungkin menolong cara beragama kita, jika kita sendiri menempatkan teknologi sebagai bagian integral dalam kehidupan kita sebagai manusia dan sebagai individu yang beragama. Dalam bayang-bayang jaringan, kita bisa menemukan pertemuan damai antara Tuhan, agama dan manusia. Semoga.
Baca SElengkapnya di :
Nama Situs : Cogito
Alamat Situs : http://lsfcogito.org/tuhan-agama-dan-manusia-dalam-bayang-bayang-jaringan/
Penulis : Peturs Richard Sianturi
Judul Asli : Tuhan, Agama, dan Manusia dalam Bayang Bayang Jaringan