TUNDUK PADA TEKANAN SOSIAL?

 

Haruskah Tunduk pada Tekanan Sosial?

Oleh Reza A.A Wattimena

Berkendaraan di Jakarta memang serba salah. Ketika lampu lalu lintas berwarna merah, saya berhenti. Namun, banyak kendaraan di belakang saya terus membunyikan klakson, supaya saya berjalan. Jalanan memang lagi sepi.

Saya tetap berhenti, karena saya tidak mau ambil resiko melanggar lampu lalu lintas. Saya juga tak mau membahayakan diri saya dan orang lain. Namun, tekanan sosial lewat klakson dari belakang terus berbunyi, supaya saya melaju, dan melanggar lampu merah yang sedang menyala. Pernahkah anda mengalami hal serupa?

Tekanan sosial memaksa anda untuk menyesuaikan diri. Ini disebut juga sebagai konformitas. Walaupun anda benar, anda tetap merasa bingung. Tak sedikit pula yang kemudian berbuat jahat, karena ditekan oleh keadaan.

Konformitas

Konformitas adalah upaya untuk mengubah perilaku diri, sehingga sesuai dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Ada dorongan untuk melebur dengan lingkungan sekitar. Ada kerinduan untuk menjadi “normal”. Orang pun tunduk pada tekanan kelompok, serta seringkali kehilangan ciri unik kepribadiannya.

Tak selamanya konformitas itu jelek. Mengikuti perilaku sekitar dapat membantu kita, supaya tak melakukan kesalahan-kesalahan yang bisa mengancam hidup. Mengikuti orang yang lebih ahli juga dapat membantu hidup kita. Namun, pertimbangan kritis diperlukan disini.

Kerap kali, kita menyesuaikan diri pada lingkungan sekitar, karena takut dianggap aneh. Kita takut dianggap “gila”. Kreativitas dibungkam atas nama kesesuaian berpikir dengan tradisi. Hidup pun terasa seperti di dalam penjara sosial.

Di dalam kajiannya yang sudah menjadi klasik, Deutsch dan Gerard (1955) merumuskan dua alasan dasar dari konformitas. Yang pertama adalah pengaruh informasional. Disini, orang mengubah perilakunya, supaya ia dianggap cocok dan tepat oleh lingkungan sekitarnya. Ini terjadi biasanya ketika orang hidup di tempat yang memiliki budaya berbeda.

Yang kedua adalah pengaruh normatif. Orang mengubah perilakunya, karena takut dihukum. Juga, dengan mengikuti perilaku orang sekitarnya, ia bisa mendapatkan keuntungan tertentu. Rasa takut dan keinginan untuk mempertahankan diri menjadi alasan utama disini.

Perkembangan

Teori tentang konformitas pun terus berkembang. (Cherry, 2022) Ada tiga teori terbaru. Yang pertama adalah konformitas lewat peran sosial. Maknanya sederhana: orang menyesuaikan diri dengan peran sosialnya, dan melepaskan sama sekali pertimbangan pribadinya.

Yang kedua adalah kepatuhan. Orang menyesuaikan perilakunya dengan lingkungan sekitarnya. Namun, di dalam hatinya, ia tidak menyukainya. Ada kontradiksi antara perilaku di luar diri, dan keadaan batin di dalam diri.

Yang ketiga adalah internalisasi. Kita mengambil nilai dan perilaku orang lain, karena kedekatan. Misalnya sepasang kekasih yang akhirnya semakin mirip satu sama lain, baik dalam soal pemikiran maupun perilaku. Ini kerap terjadi di dalam keluarga.

Beberapa Pengaruh

Mengapa orang menyesuaikan diri pada lingkungannya? Mengapa konformitas terjadi? Ada lima hal. Pertama, semakin mudah sebuah pekerjaan, semakin orang berperilaku serupa, dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Sebaliknya, semakin sulit sebuah pekerjaan, semakin orang menjadi unik, dan menjauh dari konformitas di dalam melakukan pekerjaannya.

Dua, nilai pribadi juga memiliki pengaruh. Ada orang yang memiliki nilai-nilai individualistik. Mereka cenderung untuk menolak menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Motivasi pribadi juga memainkan peranan penting disini.

Tiga, ukuran kelompok juga berpengaruh. Orang cenderung mengikuti perilaku kelompok yang terdiri dari tiga sampai lima orang. Kurang atau lebih dari itu, orang cenderung mempertahankan nilai maupun perilaku pribadinya.

Empat, keadaan sekitar juga amat besar pengaruhnya. Di dalam keadaan-keadaan yang membingungkan, orang cenderung menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Misalnya, ketika ia memasuki lingkungan sosial baru. Ambiguitas membangkitkan konformitas.

Lima, pengaruh budaya juga besar. Orang lahir dari budaya kolektif cenderung terus menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Kerap kali, mereka mengorbankan akal sehat maupun nurani mereka demi bisa diterima di lingkungan sosialnya. Indonesia adalah salah satu negara dengan budaya kolektif yang kuat.

Sisi Gelap

Konformitas punya sisi gelapnya sendiri. Orang dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Keunikan jati dirinya pun lenyap. Dengan itu, martabatnya sebagai manusia juga lebur di dalam tekanan sosial.

Tekanan sosial tersebut juga kerap memaksa orang berbuat jahat. Beragam kasus korupsi, radikalisme agama, terorisme dan pelanggaran hukum kerap berbuah dari sikap menyesuaikan diri secara buta dengan lingkungan sosial sekitar. Kebencian dan prasangka juga seringkali diturunkan ke generasi berikutnya lewat konformitas semacam ini.

Juga karena konformitas, orang kerap menolak untuk berbuat sesuatu,guna mengubah keadaan. Mereka memilih diam. Mereka memilih untuk tidak bersuara, walaupun banyak kekacauan terjadi di depan mata. Konformitas kerap menumpulkan nurani, dan memberikan ruang pada sikap tak peduli.

Jadi, haruskah tunduk pada tekanan sosial? Jawabannya sederhana, gunakan akal sehat dan nurani untuk memutuskan sendiri. Ada tekanan sosial yang memaksa kita belajar dan mengembangkan diri. Ada tekanan sosial yang memaksa kita berbuat jahat, atau menjadi bodoh. Kita perlu peka untuk membedakan keduanya.