FILSAFAT RINDU: PERSPEKTIF FILSAFAT TIMUR

Oleh DR.Reza A.A Wattimena

Setiap akhir tahun datang, saya selalu ditikam rindu. Perasaan itu muncul begitu saja di tengah gemerlap perayaan Natal dan Tahun Baru yang terjadi. Setiap tahun, polanya selalu sama. Jauh di hati saya, saya merindukan kehangatan keluarga bersama orang tua yang sudah lama tiada.

Tubuh mereka tak disini lagi. Keberadaan mereka masih ada di semesta dalam wujud yang berbeda. Saya juga merindukan orang-orang yang sudah meninggalkan saya. Inilah para sosok kekasih hati yang sempat bersama, namun kini sudah melanjutkan kisah hidupnya di tempat yang berbeda.

Secara pribadi, rasa rindu itu sungguh terasa di dada. Ada perasaan tertusuk yang mendalam. Ada perubahan suasana hati yang begitu cepat, kerap tanpa pemicu yang jelas. Terkadang, di waktu malam, perasaan itu begitu kuat mencekam, sehingga saya terjaga sepanjang malam.

Rasa rindu adalah luapan energi. Seringkali, ia datang berbarengan dengan rasa sedih. Keduanya adalah anak kandung dari peristiwa perpisahan dengan yang dicintai, entah karena kematian, atau karena rusaknya komunikasi. Dengan cuaca mendung yang penuh dengan hujan, suasana hati pun terasa semakin kelabu.

Lima Akar Rindu

Rindu berakar pada lima hal.

1.Pertama, rindu adalah tanda, ketika orang dicengkram ingatannya sendiri. Ingatan adalah ciptaan pikiran. Ia tidak sungguh nyata, melainkan hanya jejak-jejak dari apa yang sudah terjadi di masa lalu.

2.Dua, rindu juga adalah tanda, bahwa orang tercabut dari keadaan disini dan saat ini. Artinya, orang tercabut dari kenyataan. Orang hanyut ke dalam arus ingatan dan pikirannya yang bersifat semu. Ada jeda yang besar antara tubuh yang selalu berada pada saat ini, dan pikiran yang melantur ke berbagai arah, tanpa arah yang jelas.

3Tiga, rindu adalah momen ilusif. Orang terjebak dalam dunia khayalan. Orang hidup dalam ilusi. Persis karena ketidaktahuan, orang lalu terus dicekik oleh ingatannya sendiri, dan hidup dalam penderitaan besar.

4.Empat, rindu adalah ciptaan pikiran kita sendiri. Rindu adalah jejak-jejak dari perbuatan kita sebelumnya. Rindu bukanlah kutukan Tuhan, atau godaan setan. Jadi, percuma berdoa memohon bantuan Tuhan, atau mengutuk setan. Apakah akan hanyut atau bergerak melampaui rindu, murni sepenuhnya keputusan kita sendiri.

5.Lima, rindu bisa mencekik berkepanjangan. Orang bisa disiksa tanpa henti, seolah dibakar api yang tak akan padam. Rindu bisa menggeser orang masuk ke dalam ilusi yang begitu kuat, seolah ia nyata. Pada titik terdalam, orang bisa sungguh tercabut dari apa yang nyata, dan menyatu dengan kegilaan yang tak terduga.

Menyelami untuk Melampaui

Rindu adalah sebentuk kesalahpahaman. Ada tujuh hal yang kiranya penting untuk direnungkan. 1.Pertama, untuk bisa keluar dari cekikan rindu, kita perlu mengamatinya dengan lembut. Kita perlu memeluknya dengan kesadaran. Inilah langkah pertama, dan terpenting, di dalam menyelami rindu.

2.Dua, apa yang dipeluk dengan kesadaran akan luluh bersama dengan waktu. Kesadaran adalah kunci disini, yakni dalam bentuk perhatian lembut, bahkan penuh cinta, terhadap rasa rindu yang muncul. Salah satu pilar kesadaran adalah pemahaman tentang akar rindu. Lima poin sebelumnya bisa menjadi acuan.

3.Tiga, pencerahan adalah jalan keluar untuk segalanya. Pencerahan berarti kita hidup sepenuhnya disini dan saat ini. Pencerahan berarti kita tidak hanyut dalam ilusi yang diciptakan oleh pikiran kita sendiri. Pada titik terdalam, pencerahan adalah memahami dan mengalami jati diri kita yang asli, yakni kekosongan yang sadar yang selalu ada bersama dengan segala yang ada.

4.Empat, ketika rindu menerkam, tak ada yang perlu dilakukan, kecuali menyadari dan mengamatinya dengan lembut. Jangan mencari pengalihan, misalnya dengan melakukan kegiatan tertentu, seperti belanja, jalan-jalan dan sebagainya. Pengalihan adalah sebentuk penolakan. Apapun yang ditolak akan semakin kuat daya terjangnya.

5.Lima, dari pengamatan akan muncul kesadaran akan kesementaraan. Rindu adalah anak dari perpisahan. Tak ada yang salah dalam perpisahan, baik itu karena kematian ataupun rusaknya komunikasi. Semuanya adalah bagian dari kenyataan yang sementara, rapuh dan terus berubah, tanpa henti. Maka, tak perlu ada dendam dan amarah di dalam terang pemahaman.

6.Enam, di dalam kenyataan dengan semua hal yang sementara ini, kita melihat satu fenomena yang berulang, yakni muncul dan lenyapnya sesuatu. Segala yang ada di dalam kenyataan, termasuk sosok pribadi kita, memiliki ciri muncul lenyap ini. Rasa rindu juga memiliki ciri serupa. Ia muncul, bertahan sementara, lalu lenyap, seolah ia tak pernah ada.

7.Tujuh, dari sudut terdalam, tak ada yang terpisah di dalam kenyataan. Semuanya adalah satu dan sama disini dan saat ini. Inilah keserentakan saat ini yang identik dengan keabadian. Lepas dari ilusi keterpisahan, rasa rindu pun lenyap begitu saja, secara alami.

Akhir tahun tiba, dan rindu muncul di dada. Saya menyadarinya dengan lembut, dan menyelaminya dengan pemahaman penuh cinta. Rindu tak lagi mencekik, tetapi membawa rasa bahagia dan rasa syukur. Terima kasih atas kesempatan yang telah dilewati bersama, baik untuk orang tua maupun para kekasih hati. Kini kita menjalani dunia yang berbeda, … walaupun tetap satu dan sama.

Ref.

https://rumahfilsafat.com/2024/12/30/filsafat-rindu/