MENTALITAS SEHARUSNYA

Tema Artikel diatas ditulis oleh Imam Basilius Magnus dalam laman FB

1.Artikel ini mengisahkan tentang pengalaman seorang gembala yang sering menghadapi jemaat dengan “mentalitas seharusnya”. Penulis menjelaskan bahwa saat dirinya masih muda dalam iman, ia sering berpindah-pindah gereja mencari yang sesuai dengan kriteria “seharusnya” yang ia miliki. Hal ini termasuk sambutan yang ramah, kotbah yang menggugah, dan musik yang penuh urapan. Ia merasa gereja-gereja yang tidak memenuhi kriteria tersebut patut diberi label penghakiman seperti “suam-suam kuku” atau “tidak ada urapan Roh Kudus”.

2.Sebagai gembala, penulis sering mendengar pengunjung baru yang mengeluhkan gereja lamanya tidak memenuhi kriteria “seharusnya”. Namun, mereka pun sering kali tidak bertahan lama di gereja penulis ketika harapan mereka tidak terpenuhi. Penulis menyatakan bahwa ia tidak merasa bersalah karena gerejanya tidak dirancang untuk memenuhi kriteria individu-individu, melainkan untuk melayani dengan cara yang terbaik menurut kemampuan mereka.

 

### PENILAIAN KRITIS TERHADAP ARTIKEL DIATAS

#### KELEBIHAN

  1. **Kejujuran dan Keterbukaan**: Penulis secara jujur berbagi pengalamannya dan pengamatannya tentang fenomena “mentalitas seharusnya” di kalangan jemaat. Ini bisa membantu pembaca memahami bahwa mereka bukan satu-satunya yang mengalami kekecewaan dalam pencarian gereja yang ideal.
  2. **Mengelola Harapan**: Artikel ini menekankan pentingnya mengelola harapan terhadap gereja dan pelayanan gereja. Hal ini bisa membantu jemaat untuk lebih realistis dan menghargai usaha yang dilakukan oleh gereja.
  3. **Mendidik Jemaat**: Penulis menggunakan pengalamannya untuk mengajak jemaat mengubah mentalitas mereka dari “seharusnya” menjadi lebih menghargai dan bersyukur atas apa yang ada. Ini bisa membantu jemaat tumbuh dalam kedewasaan iman dan menjadi lebih memahami bahwa gereja adalah komunitas yang dikelola oleh manusia yang tidak sempurna.

 

#### KEKURANGAN

  1. **Potensi Pembenaran Diri**: Dengan menyatakan bahwa ia tidak merasa bersalah karena tidak memenuhi kriteria “seharusnya” dari individu, penulis bisa dianggap menghindari tanggung jawab untuk terus meningkatkan kualitas pelayanan. Hal ini bisa dilihat sebagai bentuk pembenaran diri.
  2. **Kurang Empati**: Artikel ini mungkin menunjukkan kurangnya empati terhadap jemaat yang memiliki harapan tertentu terhadap gereja. Harapan mereka, meskipun kadang-kadang tidak realistis, adalah cerminan dari kebutuhan dan keinginan mereka untuk menemukan komunitas yang mendukung dan memberikan kenyamanan.
  3. **Tidak Menyentuh Solusi Konkret**: Artikel ini tidak memberikan solusi konkret bagi jemaat atau gembala dalam menghadapi mentalitas “seharusnya”. Akan lebih bermanfaat jika penulis memberikan saran praktis untuk mengatasi tantangan ini baik dari sisi jemaat maupun gembala.

 

### KESIMPULAN

Artikel ini memberikan wawasan tentang fenomena “mentalitas seharusnya” dalam jemaat dan bagaimana hal itu mempengaruhi pengalaman mereka di gereja. Meskipun mengandung banyak kebenaran dan pengamatan yang bermanfaat, artikel ini juga berisiko dianggap sebagai pembenaran diri tanpa menawarkan solusi konkret. Yang terbaik adalah menjaga keseimbangan antara memenuhi harapan jemaat dan tetap setia pada prinsip-prinsip pelayanan yang benar.