Ketika Bait Allah dihancurkan pada tahun 70 M, umat Yahudi tidak lagi memiliki tempat kudus untuk mempersembahkan korban. Situasi ini memicu transformasi signifikan dalam cara mereka menyembah dan menjalankan iman mereka:
1. **Doa Menggantikan Korban**: Tradisi Rabinik menggantikan korban dengan doa. Doa-doa dalam liturgi Yahudi, seperti *Amidah* dan *Shema*, menjadi pusat ibadah. Doa diibaratkan sebagai korban rohani.
2. **Belajar dan Menghidupi Taurat**: Fokus bergeser ke mempelajari dan menaati hukum-hukum Taurat sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan.
3. **Teshuvah (Pertobatan)**: Pertobatan, pengakuan dosa, dan perbuatan baik dianggap sebagai cara yang efektif untuk memohon pengampunan.
4. **Sinagoga Sebagai Pusat Ibadah**: Sinagoga berkembang menjadi tempat utama untuk berkumpul, berdoa, belajar, dan merayakan iman, menggantikan peran Bait Allah secara fisik.
5. **Kenangan Akan Korban**: Liturgi dan tradisi Yahudi tetap menghormati ingatan terhadap korban kuno. Ada harapan dalam beberapa aliran Yudaisme bahwa korban akan dipulihkan jika Bait Allah dibangun kembali.
Transformasi ini memungkinkan Yudaisme bertahan sebagai agama yang dinamis dan relevan meskipun tanpa sistem korban fisik.