RESPONS TERHADAP PENDERITAAN


TETAP SALEH
Ayb 1:13-22

Babakan berikut dalam kehidupan Ayub lebih lagi membuat kita tidak percaya bahwa ia bisa demikian. Bukan saja saleh dan takut akan Allah bisa seiring terjadi dengan menjadi kaya dan berhasil; saleh dan tetap memuliakan Allah pun bisa seiring terjadi ketika Ayub tidak lagi punya apa-apa. Padahal bila sedikit saja kesulitan muncul dalam hidup orang lain, entah sudah bagaimana reaksi mereka terhadap Tuhan? Protes, sungutan, ancaman, atau apa lagikah biasanya reaksi Anda terhadap Tuhan ketika susah menyapa Anda?

Satu per satu milik Ayub dirampas Iblis darinya dengan menggunakan alat-alat seperti perampokan (ayat 14-15), kecelakaan (ayat 16), dan bencana alam (ayat 18-19). Menurut sang penutur kisah ini, malapetaka-malapetaka itu dan pelaporannya kepada Ayub tidak terjadi dalam selang waktu yang lama tetapi berturut-turut dalam waktu hampir bersamaan. Jika itu terjadi pada kita, kemungkinan besar kita akan mengalami lumpuh perasaan dan gelap pikiran. Bahkan, jika hanya oleh kesulitan kecil saja kita sudah mencak-mencak di hadapan Allah, kemalangan dahsyat seperti yang Ayub alami ini mungkin sekali akan membuat kita murtad.

Betapa menakjubkan gambaran tentang reaksi Ayub dalam penderitaannya itu. Ayub tidak protes, tidak bersungut, tidak menantang Allah, tetapi mengucapkan suatu pengakuan iman dan pujian yang sangat dalam kebenarannya. “Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan!” (ayat 21). Bagaimana mungkin terjadi pengakuan dan pujian demikian dalam kemalangan, seandainya Ayub menganggap harta dan anak-anaknya itu adalah miliknya? Bagaimana ia dapat tetap benar merespons kemalangan andaikata ia selama ini menjalani hidup yang tidak benar? Bagaimana mungkin ia bersyukur dalam kesulitan apabila ia tidak pernah mensyukuri kebaikan Allah sepanjang hidupnya? Bagaimana semua ini mungkin bila ia tidak terus menerus belajar meninggikan Tuhan dan tahu diri di hadapan-Nya?

Renungkan: Jangan kaitkan kerohanian dengan kondisi tertentu. Jadikan Allah pusat hidup entah bagaimana pun kondisi Anda.

JURU KUNCI YANG BAIK
Ayb 1:13-22

Banyak orang tidak dapat melepas harta kekayaannya karena itulah satu-satunya yang berharga yang dihasilkan dengan susah payah atau warisan peninggalan orang tua. Satu hal penting yang mereka lupakan bahwa semua itu adalah titipan Allah. Tugas mereka untuk kekayaan tersebut adalah mengelola dan bertanggung jawab kepada Allah, Sang Pemilik.
Sesuai dengan kesepakatan atau izin yang Allah berikan kepada Iblis, maka hal pertama yang Iblis jamah adalah harta benda dan anak- anak Ayub hanya dalam waktu satu hari. Bila orang lain atau Anda sendiri yang mengalami hal ini, hal pertama yang mungkin kita lakukan adalah marah, entah kepada orang lain, atau kepada Tuhan. Namun, tidak demikian halnya dengan Ayub. Ayub berbeda dengan kita, karena Ayub — seperti yang Allah tahu — memiliki iman yang tangguh, sehingga dia mampu bertahan.

Apa respons Ayub terhadap penderitaannya? “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!” (ayat 21). Mengapa Ayub bisa bersikap demikian?

Pertama, Ayub memiliki persepsi yang berbeda tentang harta. Ia meyakini bahwa apa yang dimilikinya sekarang adalah kepunyaan Allah, datangnya dari Allah. Ayub menyikapi harta miliknya sebagai titipan Allah yang harus dimanfaatkan untuk kebaikan Kedua, persepsinya tentang harta membuat Ayub harus bertanggung jawab terhadap kepunyaan Allah tersebut. Itu sebabnya Ayub tidak merasa terikat dengan hartanya, juga oleh anak- anaknya. Ayub menempatkan anak-anak sebagai titipan Allah yang harus diasuh dan dididik dalam iman. Ketiga, Ayub menyadari bila tiba saatnya Allah akan mengambil kembali milik-Nya.
Renungkan: Jarang ada orang bersungut jika dianugerahi harta milik Allah. Jarang ada orang bersyukur jika kehilangan harta milik Allah. Bagaimana sikap Anda terhadap harta milik Allah?

SUMBER:
http://alkitab.sabda.org/commentary.php?book=18&chapter=1&verse=15