26. Pertanyaan: Dalam kehidupan bersama yang di dalamnya terdapat keanekaragaman agama, sangat memungkinkan terjadinya kawin campur, yaitu perkawinan antar umat agama. Bagaimana pandangan dan sikap kita terhadap hal itu?
Jawab: Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan itu sah menurut agama. Itu berarti, perkawinan disebut sah jika disahkan oleh satu agama. Konsekuensinya, pernyataan itu tidak mengizinkan adanya perkawinan antarumat yang berbeda agama. Meski demikian, perkawinan campur menjadi realitas yang tak terbantahkan di tengah kenyataan keanekaragaman agama. Ada cukup banyak contoh terjadinya kawin campur yang akhirnya diselesaikan di pengadilan. Dengan demikian, secara hukum kawin campur bisa diizinkan berdasarkan yurisprudensi yang pernah ada.
Akan tetapi bagi umat Kristen, sebelum memutuskan untuk melakukan kawin campur, perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut.
Pertama, apakah keputusan kawin campur itu merupakan wujud tanggung jawab dalam rangka mewujudkan kehidupan keluarga yang baik?
Kedua, apakah keputusan kawin campur itu tidak membawa dampak negatif di kemudian hari?
Ketiga, secara iman, apakah kawin campur sungguh sesuai dengan kehendak Tuhan?a
Keempat, apakah kawin campur sesuai dengan norma sosial yang berlaku dan juga sesuai dengan tradisi dan pengajaran gereja?
Keempat hal itu perlu dipertimbangkan dan dipergumulkan masak-masak sebelum melakukan kawin campur. Yang harus sungguh diperhatikan, Tuhan mengidealkan pasangan suami istri yang seiman. Maka setiap orang percaya dipanggil untuk membawa keluarganya kepada iman Kristen.b
a. 2 Korintus 6:14-16: Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap? Persamaan apakah yang terdapat antara Kristus dan Belial? Apakah bagian bersama orang-orang percaya dengan orang-orang tak percaya? Apakah hubungan bait Allah dengan berhala? Karena kita adalah bait dari Allah yang hidup menurut firman Allah ini: “Aku akan diam bersama-sama dengan mereka dan hidup di tengah tengah mereka, dan Aku akan menjadi Allah mereka, dan mereka akan menjadi umat-Ku.” Ulangan 7:3-4: Janganlah juga engkau kawin-mengawin dengan mereka: anakmu perempuan janganlah kauberikan kepada anak laki-laki mereka, ataupun anak perempuan mereka jangan kauambil bagi anakmu laki-laki; sebab mereka akan membuat anakmu laki-laki menyimpang dari padaKu, sehingga mereka beribadah kepada allah lain. Maka murka TUHAN akan bangkit terhadap kamu dan Ia akan memunahkan engkau dengan segera.
b. 1 Korintus 7:12-16: Kepada orang-orang lain aku, bukan Tuhan, katakan: kalau ada seorang saudara beristerikan seorang yang tidak beriman dan perempuan itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah saudara itu menceraikan dia. Dan kalau ada seorang isteri bersuamikan seorang yang tidak beriman dan laki-laki itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah ia menceraikan laki-laki itu. Karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh isterinya dan isteri yang tidak beriman itu dikuduskan oleh suaminya. Andaikata tidak demikian, niscaya anak-anakmu adalah anak cemar, tetapi sekarang mereka adalah anak-anak kudus. Tetapi kalau orang yang tidak beriman itu mau bercerai, biarlah ia bercerai; dalam hal yang demikian saudara atau saudari tidak terikat. Tetapi Allah memanggil kamu untuk hidup dalam damai sejahtera. Sebab bagaimanakah engkau mengetahui, hai isteri, apakah engkau tidak akan menyelamatkan suamimu? Atau bagaimanakah engkau mengetahui, hai suami, apakah engkau tidak akan menyelamatkan isterimu?
SUMBER:
http://www.heidelberger-katechismus.net/daten/File/Upload/PKH1-04Indonesia.pdf