**Sepanjang sejarahnya, gereja Kristen tidak secara formal mengajarkan atau mengamalkan budaya malu (*shame culture*) sebagai bagian inti dari praktek ibadah atau komunitasnya. Namun, ada beberapa aspek dari budaya Kristen yang, dalam konteks tertentu, dapat mencerminkan unsur-unsur yang terkait dengan budaya malu, terutama dalam komunitas yang sangat menghargai keharmonisan dan reputasi.
### Aspek Budaya Malu dalam Sejarah Gereja
- **Disiplin Gereja dan Pengucilan**: Sepanjang sejarah, beberapa tradisi gereja menerapkan disiplin ketat terhadap anggota jemaat yang dianggap melanggar moral atau doktrin. Salah satu bentuknya adalah pengucilan (*excommunication*), di mana individu dianggap “dikeluarkan” dari komunitas iman. Hal ini sering menyebabkan rasa malu yang besar, baik secara individu maupun bagi keluarga. Dalam konteks ini, menjaga “keharmonisan” moral dan doktrinal dalam komunitas gereja menjadi penting, mirip dengan cara budaya malu berfungsi.
- **Kehormatan Kolektif dalam Gereja**: Dalam beberapa komunitas Kristen, terutama di daerah yang dipengaruhi budaya Timur, kehormatan keluarga atau kelompok jemaat sangat dijaga. Misalnya, keluarga atau komunitas gereja mungkin merasa malu jika salah satu anggotanya melakukan dosa publik, seperti perceraian, perzinahan, atau tindakan yang tidak etis. Rasa malu ini tidak hanya menimpa individu yang terlibat tetapi juga seluruh komunitas yang terkait dengannya.
- **Budaya Malu di Gereja Timur**: Di beberapa gereja di Asia yang dipengaruhi oleh budaya lokal, seperti gereja-gereja di Korea, Jepang, dan China, unsur budaya malu memang kadang tercermin dalam kehidupan komunitas. Tekanan untuk menjaga reputasi keluarga atau komunitas, serta menghindari tindakan yang memalukan, sering menjadi bagian dari kehidupan gereja di wilayah tersebut. Misalnya, rasa malu dapat menjadi alat untuk menegakkan norma-norma moral dalam komunitas, tetapi ini lebih merupakan pengaruh budaya daripada ajaran teologis Kristen.
- **Penekanan pada Pertobatan Publik**: Dalam beberapa tradisi, seperti pada masa gereja purba, ada praktek pertobatan publik yang dapat menimbulkan rasa malu. Orang yang melakukan dosa besar harus mengaku secara publik dan melakukan tindakan penebusan di depan komunitas. Meskipun hal ini lebih dimaksudkan sebagai langkah penyucian, pada praktiknya, hal ini dapat melibatkan elemen malu sebagai bagian dari proses restorasi ke dalam komunitas.
### Alasan Gereja Tidak Mengutamakan Budaya Malu
Dalam ajaran dasar Kekristenan, fokus lebih diarahkan pada kasih karunia (anugerah) dan pengampunan. Gereja menekankan kasih Tuhan yang menerima dan mengampuni dosa melalui pertobatan yang tulus. Rasa bersalah di hadapan Tuhan (yang bersifat internal) lebih ditekankan daripada rasa malu yang dipicu oleh pandangan orang lain (eksternal). Beberapa prinsip teologis yang menekankan pengampunan dan pemulihan, seperti dalam perumpamaan Yesus tentang anak yang hilang (Lukas 15:11-32), menunjukkan bahwa Tuhan lebih peduli pada pemulihan hubungan daripada rasa malu.
### Kesimpulan
Meskipun beberapa elemen dari budaya malu dapat ditemukan dalam komunitas Kristen tertentu, terutama di wilayah Asia atau dalam praktik disiplin gereja, budaya malu bukanlah inti dari praktek ibadah atau kehidupan komunitas gereja secara umum. Kekristenan lebih menekankan pengampunan, kasih, dan pemulihan daripada kontrol sosial melalui rasa malu. Ketika gereja menggunakan elemen-elemen disiplin yang melibatkan rasa malu, hal tersebut sering kali dipengaruhi oleh konteks budaya lokal atau praktik historis, bukan ajaran inti dari iman Kristen.