DOA BAPA KAMI VERSI EMMET FOX

Apologetika Kristen: Membantah Penafsiran Emmet Fox terhadap Doa Bapa Kami

Doa Bapa Kami (The Lord’s Prayer) adalah salah satu doa paling terkenal dalam sejarah Kekristenan. Doa ini diajarkan langsung oleh Yesus Kristus kepada murid-murid-Nya (Matius 6:9–13; Lukas 11:2–4). Tidak hanya menjadi teladan doa, tetapi juga ringkasan teologi yang mendalam tentang relasi manusia dengan Allah, kerajaan-Nya, dan kebutuhan sehari-hari.

Namun, di sepanjang sejarah, doa ini juga sering dipelintir atau ditafsirkan keluar dari makna aslinya. Salah satu tokoh yang melakukan hal tersebut adalah Emmet Fox, seorang pengajar “New Thought” pada awal abad ke-20. Fox menafsirkan Doa Bapa Kami secara metaforis dan psikologis, bukan teologis. Ia menekankan aspek “kekuatan pikiran” dan “kesadaran diri” dibandingkan pengakuan iman kepada Allah Tritunggal.

Sebagai orang Kristen, kita dipanggil untuk menguji segala ajaran (1 Tesalonika 5:21) dan memberikan pertanggungjawaban iman (1 Petrus 3:15). Karena itu, mari kita melihat mengapa penafsiran Fox tidak sejalan dengan iman Kristen, dan bagaimana seharusnya Doa Bapa Kami dipahami.

  1. “Bapa Kami yang di surga”

Fox menafsirkan bagian ini sebagai pengakuan bahwa “pusat ilahi” atau “kekuatan universal” ada dalam diri setiap orang. Baginya, “Bapa” bukanlah Allah pribadi, melainkan kesadaran kosmik yang dapat diakses melalui pikiran positif.

Apologetika Kristen menolak pandangan ini karena Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa Allah adalah Pribadi yang berelasi. Yesus menyebut Allah sebagai “Bapa-Ku” (Yohanes 20:17) dan mengajarkan murid-murid untuk menyapa-Nya sebagai “Bapa Kami.” Ini bukan sekadar energi atau prinsip impersonal, tetapi relasi yang penuh kasih. Allah yang di surga adalah transenden, namun juga imanen dalam kehidupan umat-Nya.

  1. “Dikuduskanlah nama-Mu”

Fox memahami bagian ini sebagai “menyadari kesucian pikiran” atau “mengenali kualitas ilahi dalam diri sendiri.” Fokusnya adalah pada diri manusia, bukan pada Allah.

Sebaliknya, makna asli doa ini adalah permohonan agar Allah dimuliakan di seluruh bumi (Yesaya 6:3). Kekudusan nama Allah tidak ditentukan oleh pengakuan manusia, tetapi adalah realitas yang abadi. Tugas orang percaya adalah menyembah Allah yang kudus dan memantulkan kekudusan-Nya, bukan sekadar menggali potensi diri.

  1. “Datanglah kerajaan-Mu”

Fox menafsirkan “kerajaan Allah” sebagai keadaan pikiran positif, kebahagiaan batin, atau harmoni universal. Ia memindahkan makna kerajaan menjadi psikologis, bukan eskatologis.

Padahal, Yesus mengajar bahwa Kerajaan Allah adalah pemerintahan Allah yang nyata di dunia ini dan akan mencapai kepenuhannya pada kedatangan Kristus kembali (Markus 1:15; Wahyu 11:15). Ini bukan sekadar kondisi mental, melainkan realitas rohani dan sejarah. Dengan berdoa demikian, orang Kristen menantikan tatanan baru di mana kehendak Allah berkuasa atas segala bangsa.

  1. “Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga”

Fox mengartikan frasa ini sebagai “menyelaraskan pikiran manusia dengan hukum kosmik,” seolah manusia bisa mengendalikan realitas melalui kesadaran.

Ajaran Kristen justru menekankan penyerahan diri pada kehendak Allah yang berdaulat. Yesus sendiri berdoa dalam Getsemani, “Jadilah kehendak-Mu” (Matius 26:39). Kehendak Allah bukanlah produk pikiran manusia, tetapi rancangan ilahi yang sempurna.

  1. “Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya”

Fox menafsirkan bagian ini secara simbolis: “makanan” berarti inspirasi atau kekuatan rohani, bukan kebutuhan fisik.

Namun, Yesus jelas berbicara tentang pemeliharaan Allah yang nyata bagi umat-Nya. Sama seperti Allah memberi manna kepada Israel di padang gurun (Keluaran 16), demikian juga Ia menyediakan kebutuhan sehari-hari kita. Doa ini mengajarkan ketergantungan total kepada Allah, bukan pada “energi batin.”

  1. “Ampunilah kami akan kesalahan kami”

Fox menolak konsep dosa sebagai pelanggaran terhadap Allah. Baginya, dosa hanyalah “pikiran negatif” yang perlu diganti dengan pola pikir positif.

Ajaran ini bertentangan langsung dengan Injil. Dosa bukan sekadar kelemahan psikologis, melainkan pemberontakan terhadap Allah yang kudus (Roma 3:23). Karena itu, kita membutuhkan pengampunan melalui darah Kristus (Efesus 1:7). Tanpa salib, doa ini kehilangan makna.

  1. “Janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari yang jahat”

Fox menafsirkan bagian ini sebagai upaya menghindari “getaran negatif” atau “energi jahat” dalam kesadaran manusia.

Alkitab justru mengajarkan bahwa ada realitas kejahatan pribadi, yaitu Iblis. Permohonan ini adalah seruan agar Allah melindungi umat-Nya dari godaan dosa dan kuasa jahat (1 Petrus 5:8–9). Ini bukan sekadar simbol psikologis, tetapi peperangan rohani yang nyata.

  1. “Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya”

Fox tidak memberi penekanan pada bagian penutup ini. Baginya, fokus tetap pada “kekuatan batin manusia.”

Sebaliknya, bagian ini menegaskan kedaulatan Allah yang kekal. Semua doa berakhir pada pengakuan bahwa hanya Allah yang layak menerima pujian. Inilah inti dari penyembahan Kristen: mengarahkan mata bukan pada diri sendiri, melainkan pada Allah yang berkuasa.

Penutup: Mengapa Apologetika Dibutuhkan?

Emmet Fox mungkin bermaksud menolong orang melihat Doa Bapa Kami secara “praktis” untuk kehidupan sehari-hari. Namun, dengan menyingkirkan Allah pribadi dan menggantikannya dengan prinsip psikologis, ia justru mereduksi doa ini menjadi teknik motivasi.

Doa Bapa Kami bukanlah mantra untuk pikiran positif, melainkan doa iman kepada Allah Tritunggal. Melalui doa ini, kita diajak untuk hidup dalam relasi dengan Bapa, berharap pada kedatangan Kerajaan Kristus, dan bersandar pada kuasa Roh Kudus.

Sebagai orang percaya, kita diajak untuk tetap setia pada makna asli doa ini. Doa Bapa Kami bukan sekadar teks indah, melainkan undangan untuk berjalan bersama Allah yang hidup.