“DUEL” LUHUT DAN PURBAYA

“Duel” Luhut dan Purbaya: Pertarungan Visi Ekonomi Indonesia

Di tengah hiruk pikuk Istana Negara, muncul sebuah drama ekonomi yang lebih menarik dari sinetron: “Duel” Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa terkait proyek Family Office. Ini bukan pertengkaran pribadi, melainkan pertarungan filosofis antara dua mazhab ekonomi yang harus kita pahami. Ini adalah duel antara Visi Global yang Akseleratif melawan Visi Realistis yang Hati-hati.

I.Kubu Luhut: Nabi Investasi dan Sayap Daedalus

1.Luhut, yang digambarkan sebagai “orang tua segala urusan,” adalah arsitek utama gagasan Family Office. Ini adalah entitas manajemen kekayaan swasta yang bertugas mengelola aset keluarga kaya raya dunia (ultra-high-net-worth individuals/UHNWI). Tujuannya jelas: menarik dana miliaran dolar dari pusat keuangan seperti Singapura, Hong Kong, dan Dubai ke Indonesia.

2.Filosofi di balik visi ini adalah Akselerasi. Luhut berpendapat bahwa kontribusi APBN terhadap ekonomi nasional hanya sekitar 10-15%. Untuk tumbuh lebih cepat, Indonesia harus “bersikap ramah terhadap investasi asing” dan membuka diri terhadap modal global. Caranya? Menawarkan insentif pajak yang sangat menarik (sering disebut “$zero \ tax$”) dan kepastian hukum yang tinggi, meniru model sukses di negara-negara pesaing. Bagi Luhut, risiko minor dari insentif pajak akan tertutup oleh multiplier effect dan terciptanya lapangan kerja dari investasi yang masuk. Ini adalah strategi berani untuk membangun “surga uang global” di tanah air.

II.Kubu Purbaya: Benteng Akal Sehat Fiskal

1.Di sisi yang berlawanan berdiri Menkeu Purbaya, sang penjaga Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sikapnya yang dingin dan tegas menolak menggunakan dana APBN untuk pendirian Family Office menciptakan narasi pertahanan yang kuat.

2.Visi Purbaya adalah Kehati-hatian Fiskal. Baginya, setiap pengeluaran negara harus tepat sasaran. Penolakannya terhadap APBN bukan berarti menolak investasi, tetapi menegaskan bahwa inisiatif yang dirancang untuk menarik modal swasta harus dibiayai oleh modal swasta itu sendiri. Lebih dalam lagi, penolakan ini menyentuh isu yang lebih besar: Keadilan Pajak.

3.Di mata global, kebijakan zero tax untuk orang kaya berpotensi melanggar prinsip keadilan dan bahkan dapat dicap sebagai pintu masuk bagi penghindaran pajak (tax avoidance), sebuah isu yang terus diperangi oleh G20 dan OECD. Purbaya, sebagai bendahara negara, harus memastikan bahwa insentif yang diberikan tidak mengikis basis pajak di masa depan dan tidak menciptakan $moral \ hazard$ di mana rakyat biasa dikenakan pajak, sementara miliarder mendapat karpet merah.

III. Dualisme Global: Tantangan di Atas Meja Dunia

1.”Duel” Luhut vs. Purbaya ini sesungguhnya mewakili dilema kebijakan yang dihadapi hampir semua negara berkembang:

  • Mengejar Pertumbuhan (Luhut): Menganut praktik pro-market untuk bersaing menarik modal yang sangat mobile (mudah berpindah). Negara harus menawarkan insentif ekstrem agar dilirik.
  • Menjaga Keadilan dan Stabilitas (Purbaya): Menganut fiscal conservatism dan kepatuhan terhadap norma pajak global. Negara harus menyeimbangkan ambisi investasi dengan tanggung jawab sosial dan risiko fiskal jangka panjang.

2.Jika Luhut ingin Indonesia terbang dengan sayap modal asing, Purbaya bertugas memastikan landasan pacu (APBN) tetap kokoh. Rakyat, pada akhirnya, hanya bisa menonton duel filosofis ini sambil berharap kebijaksanaan yang diambil adalah jalan tengah: Investasi masuk, tetapi kedaulatan fiskal dan keadilan tetap terjaga. Menolak kadang memang lebih heroik daripada sekadar menandatangani.