Hexaemeron: Membaca Kembali Kisah Penciptaan Bersama Basilius Agung
1.Kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian adalah titik tolak bagi pemahaman kita tentang dunia dan tempat kita di dalamnya. Namun, bagaimana para pemikir Kristen awal menafsirkan narasi fundamental ini? Salah satu jawaban paling cemerlang datang dari Basilius Agung, seorang Bapa Gereja yang berpengaruh dari abad ke-4, melalui karyanya yang monumental, “Hexaemeron.”
2.”Hexaemeron” bukanlah sekadar tafsiran harfiah. Ini adalah serangkaian sembilan homili atau khotbah yang awalnya disampaikan kepada jemaat Basilius di Kaisarea. Di dalamnya, Basilius tidak hanya menguraikan detail dari enam hari penciptaan, tetapi juga menanamkan pemahaman teologis yang mendalam tentang kuasa, kebijaksanaan, dan kebaikan Tuhan sebagai Sang Pencipta.
Tuhan Sang Perancang Agung
1.Pada masa Basilius, banyak pandangan filosofis Yunani meremehkan dunia materi atau menganggap alam semesta sebagai hasil kebetulan semata. Basilius dengan tegas menyanggah pandangan ini. Dalam “Hexaemeron,” ia berulang kali menegaskan bahwa setiap aspek ciptaan—dari langit dan bumi, air, tumbuhan, hingga setiap makhluk hidup—adalah hasil dari perencanaan yang cermat dan kebijaksanaan yang tak terbatas dari Tuhan. Tidak ada yang acak, semuanya memiliki tujuan. Ia secara indah menggambarkan bagaimana Tuhan menciptakan alam semesta dari ketiadaan (ex nihilo), sebuah konsep sentral yang membedakan teologi Kristen dari banyak filsafat pagan.
2.Basilius tidak ragu untuk menggali detail-detail alam yang dia pahami pada zamannya. Dia berbicara tentang sifat air, pertumbuhan tanaman, dan karakteristik hewan dengan observasi yang cermat, semuanya untuk menyoroti kemuliaan Tuhan yang terpancar melalui ciptaan-Nya. Baginya, alam adalah sebuah kitab terbuka yang menceritakan tentang Sang Pencipta.
Lebih dari Sekadar Sejarah, Lebih dari Sekadar Sains
1.Meskipun Basilius menafsirkan Kejadian 1 secara harfiah, tujuannya melampaui sekadar menjelaskan urutan kejadian. Ia ingin menginspirasi kekaguman dan rasa syukur dalam diri pendengarnya. Dengan deskripsi yang hidup dan puitis, ia mengajak mereka untuk melihat keindahan dan keteraturan dalam setiap daun, setiap ombak, dan setiap makhluk hidup. Melalui ciptaan, kita dapat memahami betapa dahsyatnya Tuhan.
2.Lebih jauh, “Hexaemeron” juga memberikan dasar teologis bagi kehidupan Kristen. Basilius secara teratur menarik pelajaran moral dan spiritual dari narasi penciptaan. Ia berbicara tentang pentingnya kerja keras, ketertiban dalam hidup kita, dan sikap syukur atas segala karunia Tuhan yang telah menciptakan dunia ini untuk kita.
Warisan yang Abadi
1.Pengaruh “Hexaemeron” Basilius Agung sangat besar. Ia menjadi model bagi penafsiran Kitab Kejadian selama berabad-abad, baik di Gereja Timur maupun Barat. Karyanya membantu membentuk pandangan Kristen tentang hubungan antara iman dan pemahaman kita tentang alam semesta, bahkan memberikan dasar awal bagi apa yang sekarang kita sebut sebagai ekologi Kristen—penghargaan mendalam terhadap ciptaan Tuhan dan tanggung jawab kita untuk memeliharanya.
2.Bagi kita di zaman modern, di tengah pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, “Hexaemeron” tetap menawarkan perspektif yang berharga. Ia mengingatkan kita untuk selalu melihat keajaiban dalam alam di sekitar kita, dan untuk selalu mengarahkan pandahaman kita kepada Sang Pencipta yang mahabijaksana. Membaca “Hexaemeron” bukan hanya menelusuri masa lalu, tetapi juga menemukan cara baru untuk mengagumi kebesaran Tuhan dalam setiap aspek keberadaan.
Rujukan Buku:
- Basil the Great, Hexaemeron. (Tersedia dalam berbagai edisi terjemahan bahasa Inggris).
- Dalam konteks karya Hexaemeron oleh Basilius Agung (Basil of Caesarea), istilah “Hexameron” berasal dari bahasa Yunani hexa (enam) dan hēmera (hari), yang secara harfiah berarti “enam hari.” Ini merujuk pada enam hari penciptaan dalam Kejadian 1:1–31.