Dalam pandangan kepercayaan Buddha, insting seksual tidak dilihat sebagai sesuatu yang inherently buruk atau baik, tetapi lebih sebagai bagian dari kama atau keinginan indrawi, yang merupakan salah satu akar dari dukkha (penderitaan) dalam kehidupan. Berikut adalah beberapa poin penting mengenai pandangan Buddhisme terhadap insting seksual:
1. Keinginan sebagai Akar Penderitaan:
• Ajaran Buddha menekankan bahwa keinginan (termasuk keinginan seksual) adalah sumber utama ketidakpuasan dan penderitaan. Ketika kita melekat pada keinginan dan berusaha terus-menerus memenuhinya, kita akan mengalami kekecewaan ketika keinginan itu tidak terpenuhi atau ketika kepuasan itu bersifat sementara.
• Dalam Kama Sutta (Sutta Nipata), Buddha menjelaskan bahwa nafsu seksual adalah penyebab penderitaan. Jika keinginan terpenuhi, hati menjadi terpesona, tetapi jika berkurang, akan timbul kehancuran.
•
2. Pengendalian Diri dan Pelepasan:
• Jalan menuju pembebasan (Nirwana) dalam Buddhisme melibatkan pelepasan dari segala bentuk keterikatan dan keinginan, termasuk keinginan seksual.
• Praktik pengendalian diri dan pengembangan kebijaksanaan membantu seseorang untuk melihat sifat sebenarnya dari keinginan dan mengurangi keterikatannya.
3. Perbedaan Pandangan untuk Praktisi yang Berbeda:
• 3.1.Bhikkhu dan Bhikkhuni (Biksu dan Biksuni): Bagi para anggota Sangha (komunitas monastik), selibat (brahmacarya) adalah aturan yang sangat penting. Mereka melepaskan kehidupan duniawi, termasuk hubungan seksual, untuk fokus sepenuhnya pada latihan spiritual menuju pencerahan.
• 3.2.Umat Awam: Bagi umat awam, tidak ada larangan mutlak terhadap aktivitas seksual, tetapi ada pedoman etis yang harus diikuti. Sila ketiga dari Pancasila Buddhis (lima latihan moral dasar) sering diterjemahkan sebagai “menghindari perbuatan salah dalam hubungan seksual.” Interpretasi dari sila ini dapat bervariasi, tetapi umumnya mencakup:
o 3.2.1.Menghindari perzinahan atau perselingkuhan.
o 3.2.2.Menghindari hubungan seksual dengan seseorang yang tidak pantas (misalnya, di bawah umur, keluarga dekat, atau yang telah berjanji setia pada orang lain).
o 3.2.3.Menghindari eksploitasi atau paksaan dalam hubungan seksual.
o 3.2.4.Menghormati persetujuan dan batasan pasangan.
o
4. Seksualitas dalam Konteks Pernikahan:
• Buddhisme umumnya melihat pernikahan sebagai wadah yang sesuai untuk ekspresi seksual bagi umat awam, selama dilakukan dengan tanggung jawab, kasih sayang, dan saling menghormati.
• Tujuan utama dalam kehidupan umat awam bukanlah untuk sepenuhnya menghilangkan keinginan seksual, tetapi untuk mengelolanya dengan bijaksana dan tidak menimbulkan penderitaan bagi diri sendiri dan orang lain.
•
5. Tiga Racun Batin:
• Keinginan (termasuk keinginan seksual) sering dikaitkan dengan salah satu dari “Tiga Racun Batin” dalam Buddhisme, yaitu lobha (keserakahan atau kemelekatan). Dua racun lainnya adalah dosa (kebencian) dan moha (kebodohan batin). Mengatasi ketiga racun ini adalah inti dari praktik Buddhis.
•
Kesimpulan:
Dalam pandangan kepercayaan Buddha, insting seksual bukanlah dosa, tetapi merupakan bagian dari keinginan yang dapat menyebabkan penderitaan jika tidak dikelola dengan bijaksana. Bagi para praktisi monastik, pelepasan total dari keinginan seksual adalah bagian dari jalan menuju pencerahan. Bagi umat awam, etika seksual menekankan pada tanggung jawab, saling menghormati, dan menghindari tindakan yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Tujuannya adalah untuk mengurangi keterikatan pada keinginan indrawi dan mengembangkan kebijaksanaan serta welas asih.