JIWA MANUSIA BERSIFAT KEKAL?

Bagaimana Membuktikan Jiwa Manusia Bersifat Kekal?

Bagaimana Membuktikan Jiwa Manusia Bersifat Kekal? – katolisitas.org

Sebagai mahluk ciptaan Allah, manusia adalah ciptaan yang unik, karena tidak terdiri dari tubuh jasmani saja atau terdiri dari jiwa spiritual saja, namun terdiri dari tubuh dan jiwa. Tubuh itu sementara, karena bersifat material. Sedangkan jiwa itu kekal karena bersifat spiritual. Bagaimana kita dapat membuktikan bahwa jiwa bersifat spiritual?

I.Argumentasi dari filosofi

1.Argumentasi bahwa jiwa adalah kekal sebenarnya telah didiskusikan oleh banyak Bapa Gereja. Origen (abad ke-3) memberikan argumentasi bahwa jiwa adalah kekal melawan Thnetopsychism yang pada waktu itu cukup populer di Arab; demikian pula St. Gregorius dari Nyssa (abad ke-4) menuliskan hal yang sama dalam tulisannya Diaogus de Anima et resurrectione; demikian pula St. Agustinus (abad ke4 dan 5) dalam bukunya De immortalitate Animae.

2.Pada saat manusia meninggal dunia, tubuhnya akan terurai menjadi bagian-bagian. Hanya sesuatu yang terdiri dari bagian-bagian yang dapat lenyap. Namun, jiwa yang tidak mempunyai bagian tidak dapat lenyap atau dengan kata lain jiwa adalah kekal. Manusia wafat, ketika tubuhnya terpisah dengan jiwanya. Namun, malaikat yang tidak mempunyai tubuh dan murni spiritual adalah kekal.

3.Kita juga dapat melihat bahwa manusia mempunyai pengetahuan. Dan pengetahuan bukanlah sesuatu yang bersifat material. Artinya, minimal ada bagian dari manusia yang tidak bersifat material namun spiritual. Sesuatu yang tidak bersifat material atau spiritual tidak dapat terurai menjadi bagian-bagian, sehingga tidak dapat lenyap atau dengan kata lain bersifat kekal. Bagian dari manusia yang kekal ini adalah jiwa, yaitu yang memungkinkan manusia untuk mempunyai pengetahuan, akal budi, perasaan, mengasihi, dll.

4.Argumentasi yang lain tentang jiwa yang kekal adalah dari keinginan yang bersifat kodrati (natural desire), bahwa setiap manusia menginginkan kebahagiaan yang kekal. Kebahagiaan kekal yang ditanamkan oleh Tuhan di dalam diri manusia menjadi sesuatu yang tidak mustahil dicapai, jika jiwa manusia tidak bersifat kekal. Sedangkan kalau tidak ada kebahagiaan kekal, maka Allah tidak akan menyatakan hal ini kepada kita. Fakta bahwa Allah telah menyatakannya dan Allah tidak mungkin berdusta, maka kita percaya kebahagiaan kekal bagi manusia itu dapat diperoleh, sebab jiwa manusia bersifat kekal. Dalam Kej 1:27, dikatakan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Keserupaan dengan Allah ini nyata dengan manusia yang diciptakan mempunyai akal budi dan kehendak bebas, namun juga, mempunyai jiwa spiritual yang kekal adanya.

II.Argumentasi dari moralitas

Jika jiwa manusia tidak bersifat kekal, maka sesungguhnya hal itu tidak sesuai  dengan akal budi. Kalau di negara Indonesia ada satu peraturan dan kemudian orang melanggarnya, maka konsekuensi logisnya adalah orang tersebut mendapatkan hukuman. Bagaimana orang yang hidup jahat di dunia ini? Apakah jiwa orang tersebut lepas dari hukuman dan kemudian lenyap begitu saja? Bukankah kita juga melihat ada banyak contoh bagaimana orang-orang yang hidupnya jahat tidak mendapatkan hukuman di dunia ini? Semua orang pada akhirnya akan menghadapi pengadilan terakhir, di mana Kristus akan memberikan pengadilan dengan seadil-adilnya, yaitu memberikan kebahagiaan sejati bagi orang yang hidup menurut perintah-Nya dan memberikan penghukuman bagi orang-orang yang melawan perintah Allah.

III. Argumentasi dari Kitab Suci

  • Kej 1:27 menceritakan bahwa manusia diciptakan menurut gambaran Allah. Karena Allah adalah murni bersifat spiritual (lih. Yoh 4:24), maka pasti ada elemen dari manusia yang bersifat spiritual.
  • Kej 15:15; Kej 25:8,17; Ul 31:16 Dikatakan bahwa setelah Abraham, Ismail dan Musa meninggal dunia, dan mereka dikumpulkan bersama dengan para leluhurnya. Di sini kita dapat melihat bahwa walaupun mereka telah meninggal dunia, namun jiwa mereka tidaklah musnah, namun berkumpul bersama-sama dengan para leluhurnya yang telah meninggalkan dunia ini.
  • Kej 37:35 Orang meninggal tidak musnah, namun turun ke dunia orang mati.
  • Mat 25:46 menceritakan keberadaan tempat siksaan dan kehidupan yang kekal, yang diperuntukkan untuk jiwa-jiwa manusia yang bersifat kekal.
  • Mat 17:1-8 menggambarkan peristiwa transfigurasi, dimana Yesus bercakap-cakap dengan Musa dan Elia. Karena Musa diceritakan telah meninggal (lih. Ul 34:5), maka kematian tidak membuat Musa menghilang.
  • Luk 16 menceritakan bahwa Abraham, Lazarus dan orang kaya telah meninggal, namun diceritakan masih hidup di dunia yang lain.
  • Fil 1:23 menunjukkan bahwa Rasul Paulus mempunyai keyakinan bahwa setelah dia meninggal, maka jiwanya tidak musnah, namun berkumpul dengan Kristus.
  • Why 6:9-10 menyatakan tentang jiwa-jiwa yang telah dibunuh, namun masih hidup dan bercakap-cakap dengan Penguasa yang Kudus.

Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa jiwa yang kekal dapat dibuktikan secara filosofi dan moralitas, serta terutama, dari Kitab Suci.