ANALISA DARI PERSPEKTIF SOSIOLOGIS DAN POLITIS
Situasi di mana pemilu 2024 telah selesai, Presiden Prabowo telah dilantik, tetapi panggung politik di awal tahun 2025 masih diramaikan dengan perdebatan seputar Jokowi, mengindikasikan beberapa dinamika sosiopolitik yang kompleks. Berikut adalah analisisnya:
I.PERSPEKTIF SOSIOLOGIS
1 Polarisasi Politik yang Belum Usai
Meskipun Jokowi sudah tidak menjabat, efek dari polarisasi politik yang terbangun selama satu dekade terakhir masih terasa kuat. Jokowi tetap menjadi simbol politik tertentu, baik sebagai tokoh yang dipuja maupun dikritik. Polarisasi ini tidak otomatis hilang meskipun ada pergantian kepemimpinan.
Pendukung Jokowi: Mereka mungkin merasa warisan Jokowi perlu dipertahankan atau bahkan melawan narasi yang mencoba mendelegitimasi kontribusinya.
Penentang Jokowi: Mereka terus menggunakan figur Jokowi sebagai kambing hitam atas berbagai persoalan yang mungkin masih terjadi di bawah pemerintahan baru.
- Budaya Politik Figur Sentral
Indonesia memiliki kecenderungan kuat untuk memusatkan perhatian pada figur politik tertentu. Dalam hal ini, Jokowi telah menjadi “tokoh sejarah” yang dianggap memengaruhi wajah politik Indonesia modern. Diskusi tentang Jokowi seringkali bukan hanya soal kebijakan, tetapi tentang nilai-nilai yang ia bawa, seperti kesederhanaan atau program populisnya, yang terus menjadi pembanding dengan tokoh lain, termasuk Presiden Prabowo.
- Residu Kebijakan dan Dampaknya
Kebijakan besar yang dirancang selama era Jokowi, seperti proyek infrastruktur besar-besaran, ibu kota baru (IKN), atau omnibus law, meninggalkan dampak yang masih terasa di era pemerintahan Prabowo. Warisan kebijakan ini menjadi bahan diskusi—baik yang mendukung kelanjutannya maupun yang mengkritik dampaknya.
- Media dan Narasi yang Bertahan
Media sosial dan media massa memiliki peran besar dalam menjaga figur Jokowi tetap relevan. Diskusi tentang Jokowi dapat mendatangkan engagement tinggi, baik dari pendukung maupun pengkritiknya. Akibatnya, narasi tentang dirinya sulit untuk benar-benar hilang.
II.PERSPEKTIF POLITIS
- Narasi Oposisi yang Belum Bergeser
Bagi oposisi yang selama ini kritis terhadap Jokowi, narasi tentang dirinya tetap relevan untuk:
1.1.Membangun legitimasi atas kritik mereka terhadap status quo.
1.2.Menciptakan narasi bahwa pemerintahan baru (Prabowo) adalah penerus kebijakan yang dianggap bermasalah dari era Jokowi.
1.3.Memanfaatkan nostalgia atau kebencian terhadap Jokowi sebagai alat mobilisasi politik.
- Dinamisasi Hubungan Jokowi-Prabowo
Jika Jokowi dan Prabowo tetap memiliki hubungan baik atau bahkan bekerja sama dalam pemerintahan baru, kelompok oposisi mungkin terus mengkritik Jokowi sebagai bagian dari strategi mereka untuk mendelegitimasi Prabowo. Jokowi akan tetap menjadi fokus kritik karena dianggap memengaruhi arah pemerintahan baru.
- Krisis Identitas Oposisi
Oposisi, terutama partai atau kelompok yang sebelumnya berada di luar kekuasaan, mungkin mengalami kesulitan untuk membangun narasi baru pasca pemilu. Oleh karena itu, mereka terus menggunakan kritik terhadap Jokowi untuk menjaga perhatian publik dan mempertahankan basis pendukung mereka.
- Warisan Politik dan Resistensi
Warisan politik Jokowi, seperti keberlanjutan proyek IKN atau program subsidi tertentu, mungkin memicu resistensi dari kelompok yang merasa kebijakan tersebut kurang tepat. Ini membuka ruang bagi perdebatan politik tentang apakah warisan tersebut harus dilanjutkan atau diubah.
III.Konteks Pemilu 2024 dan Pelantikan Prabo
- Ekspektasi dan Perbandingan
Prabowo sebagai presiden baru berada di bawah tekanan untuk membuktikan diri. Dalam konteks ini, perbandingan dengan Jokowi akan sulit dihindari. Jika Prabowo berhasil, pendukungnya akan menekankan keberhasilan tersebut sebagai kontras dengan pemerintahan sebelumnya. Sebaliknya, jika ada kekurangan, kelompok kritis akan dengan mudah mengaitkannya dengan warisan masalah dari era Jokowi.
- Dinamika Internal Pemerintah
Jika ada faksi-faksi dalam koalisi Prabowo yang pro dan kontra terhadap Jokowi, maka isu tentang Jokowi bisa menjadi alat politik internal untuk saling melemahkan. Ini membuat nama Jokowi terus relevan di panggung politik.
IV.IMPLIKASI SOSIAL DAN POLITIK
- Kepanjangan Polarisasi
Diskusi terus-menerus tentang Jokowi dapat memperpanjang polarisasi di masyarakat, di mana kelompok pendukung dan penentangnya terus saling menyerang, meskipun fokus politik seharusnya sudah bergeser ke pemerintahan baru.
- Gangguan Terhadap Pemerintahan Baru
Jika perhatian politik terlalu fokus pada masa lalu (Jokowi), pemerintahan baru bisa kehilangan momentum untuk membangun narasi dan kebijakan yang lebih segar. Prabowo mungkin perlu mengambil langkah strategis untuk memastikan fokus publik beralih pada program-program barunya.
- Kerentanan Legitimasi
Kritik yang terus diarahkan pada Jokowi bisa menjadi bumerang jika masyarakat merasa bahwa oposisi atau pemerintahan baru tidak memberikan solusi atas masalah yang ada, melainkan hanya terus menyalahkan masa lalu.
KESIMPULAN
Fenomena ini menunjukkan bahwa Jokowi tidak hanya dilihat sebagai figur mantan presiden, tetapi juga simbol politik yang mencerminkan konflik, harapan, dan warisan kebijakan tertentu. Untuk mengatasi situasi ini, diperlukan:
1.Narasi politik baru dari oposisi dan pemerintah yang fokus pada solusi, bukan kritik terhadap masa lalu.
2.Rekonsiliasi politik untuk mengurangi polarisasi yang mengakar.
3.Strategi komunikasi pemerintah Prabowo untuk mengarahkan perhatian publik pada kebijakan dan pencapaian baru.
***Jokowi tetap menjadi pusat perhatian karena warisan politiknya dianggap relevan dalam dinamika kekuasaan yang sedang berlangsung.
- #PolarisasiPolitik
- #DiskursusPolitik
- #NarasiMedia
- #KritikPolitik
- #PerdebatanPublik