I.KONSILI TRENTE (1545-1563)
1.Konsili Trente (1545-1563) lahir di tengah gejolak Reformasi Protestan. Sebagai respons, konsili ini tak hanya menegaskan kembali ajaran-ajaran Katolik yang disanggah oleh Martin Luther dan para reformator lainnya, tetapi juga mengeluarkan kecaman dan pengutukan yang keras terhadap pandangan-pandangan Protestan.
2.Esai ini akan menelusuri bagaimana keputusan-keputusan Konsili Trente mengenai pengutukan Protestan dijawab dan diatasi oleh semangat ekumenis Konsili Vatikan II, yang kini menjadi arah yang diharapkan dan diwajibkan untuk diikuti oleh umat Katolik.
Gema Pengutukan dari Trente:
Konsili Trente hadir sebagai benteng pertahanan ajaran Katolik di tengah badai Reformasi. Dengan semangat membendung “bidah” Protestan, Trente mengeluarkan serangkaian dekrit dan kanon yang secara eksplisit mengutuk ajaran-ajaran kunci Reformasi. Beberapa poin penting dari kecaman Trente meliputi:
• 1.Otoritas Tunggal Kitab Suci (Sola Scriptura): Trente menegaskan bahwa Tradisi Suci Gereja dan Magisterium (otoritas pengajaran Gereja) memiliki otoritas yang sama dengan Kitab Suci, menolak pandangan Protestan yang hanya mengakui Kitab Suci sebagai sumber kebenaran iman. Mereka yang menolak tradisi apostolik sebagai sumber iman dikutuk.
• 2.Pembenaran Hanya oleh Iman (Sola Fide): Konsili Trente mengajarkan bahwa pembenaran terjadi melalui iman dan perbuatan baik yang bekerja sama dengan rahmat Allah, menolak doktrin Protestan tentang pembenaran hanya oleh iman tanpa perbuatan. Mereka yang mengatakan bahwa manusia dibenarkan hanya oleh iman, tanpa perbuatan, dikutuk.
• 3.Sakramen-Sakramen: Trente menegaskan tujuh sakramen yang ditetapkan oleh Kristus, berbeda dengan pandangan Protestan yang umumnya mengakui hanya dua sakramen (Baptis dan Perjamuan Kudus). Mereka yang menyangkal salah satu dari tujuh sakramen sebagai ditetapkan oleh Kristus dikutuk.
• 4.Misa: Konsili menegaskan kembali Misa sebagai kurban yang sesungguhnya dan proporsiasi untuk dosa, berbeda dengan pandangan Protestan yang melihatnya sebagai peringatan simbolis. Mereka yang mengatakan bahwa Misa hanyalah perjamuan dan bukan kurban sejati dikutuk.
• 5.Kepemimpinan Gereja: Trente menegaskan primat Uskup Roma (Paus) sebagai penerus Petrus dan kepala seluruh Gereja, menolak pandangan Protestan tentang kepemimpinan kolegial atau otonomi jemaat lokal.
Pengutukan-pengutukan ini menciptakan jurang pemisah yang dalam antara Katolik dan Protestan selama berabad-abad, ditandai dengan polemik, konflik, dan kurangnya pemahaman satu sama lain.
II.KONSILI VATIKANII (1962-1965)
Vatikan II (1962-1965): Angin Pembaharuan dan Rangkulan Persaudaraan
Berabad-abad kemudian, Konsili Vatikan II (1962-1965), yang diselenggarakan di bawah kepemimpinan Paus Yohanes XXIII dan dilanjutkan oleh Paus Paulus VI, membawa perubahan angin yang menyegarkan. Dengan semangat aggiornamento (pembaruan), konsili ini meninjau kembali banyak aspek kehidupan dan ajaran Gereja, termasuk hubungannya dengan umat Kristen non-Katolik.
Vatikan II tidak secara eksplisit mencabut setiap kutukan Trente, namun secara fundamental mengubah perspektif dan sikap Gereja, mengedepankan dialog dan pengakuan persaudaraan.
Beberapa poin penting yang menjawab “pengutukan” Trente meliputi:
• 1.Pengakuan Elemen Kebenaran dan Kekudusan: Dekrit tentang Ekumenisme (Unitatis Redintegratio) mengakui bahwa “banyak unsur pengudusan dan kebenaran” dapat ditemukan di luar batas-batas Gereja Katolik yang kelihatan, termasuk dalam komunitas-komunitas Kristen. Ini secara implisit mengakui bahwa Roh Kudus bekerja di luar Gereja Katolik dan bahwa umat Protestan memiliki warisan iman Kristen yang berharga.
• 2.Ikatan Persaudaraan dalam Kristus: Vatikan II menekankan bahwa umat Kristen yang telah dibaptis dalam nama Kristus memiliki ikatan persaudaraan yang nyata dengan umat Katolik. Meskipun belum mencapai kesatuan penuh, mereka tetap diakui sebagai saudara dan saudari dalam Kristus. Ini menggantikan pandangan yang cenderung melihat mereka sebagai orang luar atau bahkan musuh iman.
• 3.Dialog Ekumenis sebagai Jalan: Konsili mendorong dialog yang tulus dan konstruktif dengan komunitas-komunitas Kristen lainnya. Tujuannya bukan lagi untuk sekadar “mempertobatkan” mereka kembali ke pangkuan Gereja Katolik, tetapi untuk saling memahami, menghargai perbedaan, mencari titik temu, dan bekerja sama dalam isu-isu kemanusiaan dan keadilan.
• 4.Penghargaan terhadap Kitab Suci: Meskipun Vatikan II menegaskan peran Tradisi dan Magisterium, konsili ini juga menekankan pentingnya Kitab Suci dalam kehidupan iman semua umat Kristen. Dokumen Dei Verbum (Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi) mendorong studi Kitab Suci yang lebih mendalam dan mengakui peran sentralnya dalam iman Kristen.
• 5.Pemahaman yang Lebih Luas tentang Gereja: Konstitusi Dogmatis tentang Gereja (Lumen Gentium) mengembangkan pemahaman yang lebih luas tentang Gereja sebagai umat Allah yang berziarah, yang mencakup semua orang yang percaya kepada Kristus dan dibaptis, meskipun belum sepenuhnya bersatu secara kelembagaan.
Kewajiban Umat Katolik Saat Ini:
Semangat dan keputusan Konsili Vatikan II kini menjadi arah yang diharapkan dan bahkan dapat dikatakan sebagai kewajiban bagi umat Katolik dalam berhubungan dengan umat Kristen non-Katolik. Ini berarti:
• 1.Menghindari Bahasa yang Merendahkan dan Menghakimi: Penggunaan istilah-istilah seperti “heretik” untuk menyebut seluruh kelompok umat Protestan tidak sesuai dengan semangat persaudaraan dan hormat yang ditekankan oleh Vatikan II.
• 2.Mengedepankan Dialog dan Saling Pengertian: Umat Katolik diundang untuk terlibat dalam dialog yang konstruktif dengan umat Kristen lainnya, mendengarkan dengan penuh perhatian, dan berusaha memahami perspektif mereka.
• 3.Mencari Titik Temu dan Kerjasama: Fokus hendaknya pada area-area di mana ada kesamaan iman dan nilai, serta bekerja sama dalam proyek-proyek yang mempromosikan kebaikan bersama.
• 4.Mendoakan Persatuan: Mendoakan persatuan semua umat Kristiani adalah bagian penting dari semangat ekumenis.
• 5.Mempelajari dan Menghargai Tradisi Kristen Lain: Memahami sejarah, teologi, dan praktik ibadah dari tradisi Kristen lain dapat membantu membangun jembatan pemahaman dan menghindari prasangka.
Kesimpulan:
Konsili Vatikan II (1962-1965), di bawah kepemimpinan Paus Yohanes XXIII dan Paulus VI, menandai perubahan mendasar dalam sikap Gereja Katolik terhadap umat Kristen non-Katolik. Dari semangat pengutukan dan pemisahan yang mewarnai Konsili Trente, Vatikan II membuka jalan menuju rekonsiliasi, dialog, dan pengakuan persaudaraan.
Keputusan-keputusan Vatikan II bukan hanya sekadar revisi, tetapi sebuah arah baru yang mengikat bagi seluruh umat Katolik. Mengikuti semangat ekumenis Vatikan II berarti meninggalkan retorika polemis masa lalu dan merangkul umat Kristen dari tradisi lain sebagai saudara dan saudari dalam iman kepada Kristus, bekerja bersama menuju kesatuan yang didambakan oleh-Nya. Inilah jalan yang diharapkan dan diwajibkan bagi Gereja Katolik di zaman modern ini.