Pembaharuan Budi di Tengah Kesuksesan: Perspektif Pastoral dan Filsafat Pikiran
Refleksi atas Roma 12:2 untuk Kaum Muda Berkarir dan Berkeluarga
Saudara/i yang terkasih dalam Kristus, Anda berada di fase kehidupan yang penuh anugerah: karir yang gemilang, keluarga yang utuh, dan prospek masa depan yang cerah. Namun, justru di tengah kelimpahan inilah peringatan Rasul Paulus menjadi sangat mendesak: “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu…” (Roma 12:2).
Medan pertempuran utama di masa muda yang sukses bukanlah penderitaan fisik, melainkan kesibukan dan ambisi. Filsafat Pikiran membantu kita mengidentifikasi bahaya tersembunyi ketika pikiran (mind) kita mulai melayani prestasi alih-alih Tuhan.
I.. Konformitas Duniawi: Menjadi Serupa dengan “Pola Kognitif” Prestasi
1.Dalam konteks kesuksesan, “dunia ini” (the pattern of this world) mewakili nilai yang menempatkan pencapaian, kepemilikan, dan kecepatan sebagai ukuran tunggal keberhargaan dan keselamatan. Konformitas terjadi ketika orang muda menerima pola kognitif yang merusak, yaitu perasaan tidak pernah cukup (merasa harus selalu lebih sukses, lebih sibuk, lebih sempurna).
Pengabaian Intensionalitas
2.Duniawi mengajarkan bahwa berhenti adalah kegagalan. Pola kognitif ini secara otomatis mengarahkan pikiran pada pengejaran tanpa henti.
Dalam Filsafat Pikiran, ini terkait dengan Intensionalitas—kemampuan pikiran untuk “mengarahkan diri” atau fokus. Jika kita menyerah pada default state duniawi, pikiran kita akan mengarahkan intensionalitasnya pada:
2.1.Idolatri Kinerja: Fokus hanya pada metrik eksternal (gaji, gelar, ukuran rumah) sebagai penentu harga diri.
2.2.Keterikatan Identitas pada Peran: Menganggap Identitas Pribadi (self) terikat pada gelar profesional (misalnya, CEO atau top performer), bukan pada status sebagai anak Allah.
3.Jika kita menyerah pada default state ini, kita membiarkan pikiran kita diprogram oleh logika persaingan dan keletihan, mengabaikan realitas rohani di mana istirahat (Sabbath) adalah perintah, dan nilai kita adalah anugerah, bukan kinerja.
- Pembaharuan Budi: Mengganti Program Kognitif Kesibukan
1.Perintah Paulus adalah untuk “berubahlah oleh pembaharuan budimu.” Ini adalah seruan untuk melakukan perubahan kognitif yang radikal dan proaktif: mengganti program yang fokus pada penumpukan dengan program yang fokus pada kepuasan dan kehadiran.
Kognisi sebagai Tindakan Prioritas
2.Proses ini adalah tindakan Kognisi (pemahaman dan pemrosesan informasi) yang dilakukan dengan kehendak bebas (free will). Pasien kesuksesan dapat memilih untuk mengarahkan kembali intensionalitas mereka dari kegelisahan duniawi menuju fokus pada hal-hal yang tidak dapat dibeli. Ini dilakukan dengan:
- Membongkar Premis Duniawi: Mengenali dan menolak pikiran-pikiran yang mengatakan, “Aku harus selalu menjawab telepon,” atau “Istirahat berarti kemalasan.”
- Menginstal Premis Injil: Menggantinya dengan premis Alkitab, misalnya, “Pencapaian terbesarku adalah mengasihi Tuhan dan keluargaku,” dan “Kecukupan dan damai sejahtera sejati adalah hadiah dari Kristus (Yohanes 14:27).”
3.Pembaharuan budi inilah yang mengubah identitas pribadi seseorang. Diri (self) yang diperbarui memahami bahwa peran kita adalah menjadi pelayan yang setia dalam posisi kita, bukan sekadar pengumpul prestasi yang ambisius. Ini adalah wadah di mana ambisi diubah dari keinginan untuk “memiliki” menjadi keinginan untuk “melayani.”
III.. Mengelola Qualia: Memberi Makna pada Pengalaman Stres Harian
1.Keletihan kronis, stres karena deadline, dan perasaan selalu dikejar adalah Qualia—yaitu, pengalaman subjektif dan murni dirasakan dari kehidupan modern. Filsafat Pikiran mengakui realitas qualia ini; Teologi Kristen memberi makna baru padanya.
Transformasi Makna Kelelahan
2.Pembaharuan pikiran tidak selalu menghilangkan qualia kesibukan (tekanan kerja), tetapi mengubah makna yang kita berikan pada sensasi-sensasi ini.
.1.Dunia: Menganggap qualia kelelahan sebagai tanda kehormatan atau “lencana perang” yang membuktikan nilai dan komitmen.
2.2.Injil: Memahami qualia kelelahan yang tak kunjung usai sebagai tanda peringatan bahwa intensionalitas kita telah diarahkan secara keliru, dan mendorong kita untuk menemukan istirahat yang sejati di dalam Tuhan.
3.Dengan mengarahkan kembali intensionalitas melalui qualia ini, orang muda Kristen merangkul disiplin spiritual (seperti doa dan keheningan) sebagai lahan pembaharuan ontologis (perubahan mendasar pada hakikat diri). Dengan demikian, karir mungkin tetap menantang, tetapi pikiran dan jiwa menjadi semakin tenang dan terpusat, mampu “menguji dan memastikan apa kehendak Allah yang baik, yang berkenan kepada-Nya, dan yang sempurna.”