Seni Tidak Tersinggung: Perspektif Stoikisme dan Teologi Kristen
PENDAHULUAN
Di era media sosial yang penuh komentar pedas dan opini provokatif, kemampuan untuk tidak tersinggung menjadi keterampilan langka sekaligus berharga. Stoikisme menawarkan kebijaksanaan kuno tentang hal ini, namun bagaimana perspektif teologi Kristen? Apakah keduanya sejalan atau berbeda?
I.Stoikisme: Kekuatan dari Ketidakpedulian
1.Filosofi Stoik mengajarkan bahwa tersinggung adalah pilihan. Marcus Aurelius menulis, “Jika kau tersinggung oleh hal eksternal, rasa sakit itu bukan dari hal tersebut, tetapi dari penilaianmu tentangnya—dan ini bisa kau batalkan kapan saja.”
2.Bagi Stoik, seni tidak tersinggung terletak pada pemahaman bahwa opini orang lain bukan dalam kendalimu. Yang bisa kau kendalikan hanya persepsi dan responmu. Epictetus menegaskan: “Orang lain tidak bisa menyakitimu tanpa izinmu.” Ini bukan tentang kelemahan, tetapi tentang kedaulatan diri—memilih kedamaian rasional di atas reaksi emosional yang impulsif.
Stoikisme mengajak kita untuk melihat hinaan sebagai ujian karakter, bukan ancaman. Ketika seseorang menghina, itu lebih mencerminkan mereka daripada kita.
II.Teologi Kristen: Kerendahan Hati, Bukan Ego yang Kuat
1.Kekristenan setuju bahwa tidak mudah tersinggung adalah kebajikan, namun dengan fondasi yang berbeda. Yesus mengajarkan, “Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya” (Matius 5:11). Paulus menambahkan, “Jangan membalas kejahatan dengan kejahatan… kalau mungkin, hiduplah dalam damai dengan semua orang” (Roma 12:17-18).
2.Namun motivasinya berbeda. Stoikisme menekankan kekuatan ego yang tidak tergoyahkan—”aku terlalu kuat untuk tersinggung.” Kekristenan justru menekankan kerendahan hati—”aku tidak perlu membuktikan apa-apa karena identitasku aman di dalam Kristus.”
3.Perbedaan ini signifikan. Stoik tidak tersinggung karena merasa superior secara rasional. Kristen tidak tersinggung karena mengalami kasih yang membebaskan. Yesus sendiri dihina, namun “tidak membalas dengan menghina” (1 Petrus 2:23)—bukan karena apatis, tetapi karena kasih yang lebih besar.
Belas Kasihan vs Apati
4.Stoikisme dapat mengarah pada apati emosional—jika tidak ada yang bisa menyakitimu, kau juga berisiko tidak peduli. Kekristenan mengajarkan sesuatu yang paradoks: tidak mudah tersinggung tetapi tetap berempati. Kita dipanggil untuk “menangis dengan yang menangis” namun tidak terjebak dalam spiral defensif ketika diserang.
Kesimpulan
Stoikisme mengajarkan seni tidak tersinggung melalui kontrol kognitif dan kekuatan rasional. Teologi Kristen menawarkan kebebasan dari tersinggung melalui identitas yang aman dalam kasih Allah. Keduanya berharga, tetapi Kekristenan menambahkan dimensi yang lebih hangat: kita tidak tersinggung bukan karena keras hati, tetapi karena hati yang penuh kasih tidak perlu bertahan—ia bebas untuk mengampuni.
“Jika mungkin, sehingga bergantung padamu, hiduplah dalam damai dengan semua orang.” — Roma 12:18