Ketika Imam Merantai Diri: Aksi Protes Gaza dan Perpecahan Pandangan Gereja Selandia Baru
Peristiwa yang Mengguncang Dunia Gereja
1.Pada September 2025, sebuah aksi protes yang tidak biasa terjadi di Selandia Baru. Para imam dari berbagai denominasi Kristen melakukan tindakan berani dengan merantai diri mereka di kantor-kantor pemerintah, khususnya di kantor Menteri Keuangan Nicola Willis. Aksi yang berlangsung di Auckland ini dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Reverend Mel McKenzie dan Archdeacon Martin Robinson dari Gereja Anglican.
2.Para pemimpin rohani ini tidak hanya sekedar berdemonstrasi. Mereka berkomitmen untuk bermalam dan berpuasa, dengan beberapa bahkan berpuasa dari air, sebagai bentuk solidaritas dengan penderitaan rakyat Palestina di Gaza. “Kami berpuasa karena itulah yang dialami oleh rakyat Palestina,” ujar Reverend McKenzie, menjelaskan motivasi di balik aksi ekstrem mereka.
3.Tuntutan utama para imam ini jelas: mereka mendesak pemerintah Selandia Baru untuk memberikan kerangka waktu yang pasti untuk menerapkan sanksi terhadap pemerintah Israel. Aksi ini merupakan puncak dari gelombang protes yang telah berlangsung selama berminggu-minggu, termasuk demonstrasi besar-besaran yang diikuti 20.000 orang di Auckland pada akhir pekan sebelumnya.
Suara yang Terbagi: Spektrum Tanggapan Lintas Denominasi
Aksi kontroversial para imam ini memicu reaksi beragam dalam komunitas Kristen Selandia Baru, mencerminkan perpecahan yang lebih dalam mengenai peran gereja dalam isu-isu politik internasional.
I..Kubu Pendukung: Panggilan Moral yang Tidak Bisa Diabaikan
1.Kelompok yang mendukung aksi para imam ini berargumen dari perspektif teologis yang kuat. Archdeacon Martin Robinson menegaskan posisi mereka dengan menyatakan bahwa “sebagai imam, kami percaya setiap anak diciptakan menurut gambar Allah, dan iman kami memotivasi untuk melawan ketidakadilan secara damai.”
2.Bagi kubu ini, tindakan para imam bukan hanya sekedar aksi politik, melainkan pemenuhan panggilan profetik gereja. Mereka melihat diri sebagai penerus tradisi para nabi dalam Alkitab yang berani mengkritik penguasa dan membela yang tertindas. Argumen utama mereka meliputi:
3.Kewajiban Moral Agama: Para pendukung percaya bahwa pemimpin rohani memiliki tanggung jawab moral untuk berbicara melawan ketidakadilan, terlepas dari konsekuensi politik yang mungkin timbul. Mereka menganggap diam dalam menghadapi penderitaan adalah bentuk complacency yang bertentangan dengan ajaran Kristen.
4.Tradisi Protes Damai: Gereja memiliki sejarah panjang dalam advokasi hak asasi manusia, dari gerakan abolisionis hingga perjuangan hak sipil. Bagi mereka, aksi para imam ini adalah kelanjutan logis dari tradisi tersebut.
5.Urgensi Kemanusiaan: Kondisi di Gaza, menurut pandangan mereka, telah mencapai titik kritis yang memerlukan tindakan segera, bukan hanya pernyataan diplomatik yang lemah.
II.Kubu Penentang: Kekhawatiran akan Politisasi Gereja
1.Di sisi lain, terdapat kelompok dalam komunitas Kristen yang mengkritisi aksi para imam ini. Kehadiran kontra-protes dari Destiny Church di Auckland menunjukkan bahwa perpecahan ini bukan hanya teoritis, melainkan nyata terjadi di lapangan.
Kelompok yang tidak setuju dengan aksi ini mengajukan beberapa keberatan fundamental:
2.Pemisahan Gereja dan Politik: Mereka berargumen bahwa pemimpin agama seharusnya fokus pada pelayanan spiritual dan tidak terlalu terlibat dalam politik praktis. Menurut pandangan ini, gereja harus menjaga netralitasnya untuk dapat melayani semua umat tanpa memandang pandangan politik mereka.
3.Kompleksitas Konflik: Kritik lain menyoroti bahwa konflik Israel-Palestina sangat kompleks dan tidak dapat disederhanakan menjadi narasi hitam-putih. Mereka khawatir bahwa sikap sepihak dapat mengabaikan nuansa penting dalam konflik yang telah berlangsung puluhan tahun ini.
4.Risiko Perpecahan Umat: Ada kekhawatiran bahwa aksi kontroversial seperti ini dapat memecah belah umat dan merusak kesatuan gereja. Beberapa melihat potensi bahaya dalam mencampurkan isu politik internasional dengan kehidupan bergereja.
5.Metode yang Dipertanyakan: Sementara tujuan kemanusiaan mungkin mulia, beberapa mempertanyakan efektivitas dan kesesuaian metode protes yang dramatis ini, mengusulkan pendekatan yang lebih konstruktif dalam diplomasi dan dialog.
6.Denominasi Baptist: Contoh Kebimbangan Institusional
Gereja Baptist Selandia Baru memberikan ilustrasi menarik tentang kesulitan institusi gereja dalam menavigasi isu sensitif ini. Mereka sempat mengeluarkan pernyataan mengenai situasi Gaza, Israel, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur, namun kemudian menarik kembali pernyataan asli dan menggantinya dengan versi yang telah diedit.
Incident ini menggambarkan pergulatan internal yang dialami banyak denominasi: keinginan untuk berbicara tentang isu kemanusiaan yang mendesak, namun juga kebutuhan untuk menjaga persatuan dan menghindari kontroversi yang dapat merusak misi utama gereja.
III.Refleksi: Gereja di Persimpangan Jalan
1.Aksi para imam di Selandia Baru dan reaksi yang menyertainya mencerminkan pergulatan yang lebih luas dalam kekristenan kontemporer. Di satu sisi, ada panggilan untuk menjadi “garam dan terang dunia” yang aktif memperjuangkan keadilan. Di sisi lain, ada kekhawatiran akan politisasi gereja yang dapat mengaburkan misi spiritual utamanya.
2.Perdebatan ini tidak hanya terjadi di Selandia Baru, tetapi juga menggema di berbagai negara lain di mana komunitas Kristen bergulat dengan cara merespons krisis kemanusiaan internasional. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: sejauh mana gereja harus terlibat dalam isu politik, dan metode apa yang paling tepat untuk menyuarakan keprihatinan moral?
3.Yang jelas, aksi berani para imam ini telah memaksa komunitas Kristen Selandia Baru untuk merefleksikan kembali peran dan tanggung jawab mereka dalam menghadapi ketidakadilan global. Terlepas dari perbedaan pandangan yang ada, satu hal yang dapat disepakati adalah bahwa dialog dan refleksi yang mendalam tentang isu-isu ini sangat diperlukan untuk menemukan jalan yang dapat menyatukan kembali umat dalam misi kemanusiaan bersama.