A Grief Observed (Mengupas Duka)

http://yesielie.blogspot.com/2013/01/a-grief-observed-mengupas-duka.html

C.S. Lewis, penulis buku The Chronicle of Narnia, membantu saya untuk memahami bagaimana perasaan orang yang berduka. Lewis pernah mengalami perasaan tersinggung yang sama dengan rekan saya ketika ia mengalami kedukaan. Lewis menceritakan pengalamannya ini dalam bukunya A Grief Observed (Mengupas Duka). Ketika istrinya meninggal karena leukemia, rekan-rekannya berusaha untuk menghiburnya dengan mengutip kata-kata Paulus, “Jangan berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan.” Dalam kemarahannya, raksasa intelektual di abad 20 ini berkata, “Jangan bicara padaku tentang penghiburan dalam agama, atau aku akan curiga bahwa Anda tidak memahami apa-apa.”

Lewis dengan terbuka menceritakan pengalaman dukacitanya ketika maut merenggut istrinya yang mengidap Leukemia. sehingga lima tahapan dukacita yang dikemukakan oleh Elizabeth Kübler-Ross, tampak nyata dalam buku ini.

Pada bab pertama dan kedua, dengan jujur ia mempertanyakan keberadaan Allah dalam duka. Dengan penuh kemarahan, ia juga menyatakan kekecewaannya pada Allah sebagai Si Sadis Sejagad. Si Sadis Sejagad itu tidak nyata ketika dukacita melandanya, namun nyata pada saat sukacita. Ia mempertanyakan keberadaan istrinya saat ini. Ia bertanya mengapa orang-orang di sekitarnya begitu yakin dengan imaji surga sebagai tempat yang indah? Mengapa orang-orang begitu yakin akan adanya “reuni keluarga setelah kematian”, padahal tidak ada satu ayat pun dalam Alkitab yang menjelaskan tentang “reuni” tersebut?

Dalam bab tiga dan empat, tampak emosi Lewis sudah menurun. Pada bagian-bagian ini, ia mulai dapat menerima kematian istrinya dan melihat bahwa kekalutannya membuat ia tidak dapat memandang “pintu” yang Allah bukakan baginya. Ia menyadari bahwa kesedihan yang mendalam, membuat dirinya semakin terpisah jauh dari Allah dan istrinya yang telah meninggal.

Dia akhir babnya, ia menyatakan bahwa kedukaan adalah sebuah proses perjalanan, bukan sebuah peta. Yang menarik di akhir bukunya, ia mengatakan bahwa kematian dan kebangkitan adalah sebuah misteri. Kita tidak dapat memahaminya dan bahkan kita tidak tahu apa-apa tentangnya.

Bahasa Lewis yang sangat jujur tentang kekecewaan dan ketidakmengertiannya sangatlah menarik untuk saya. Bagi saya, kejujuran macam ini diperlukan untuk membantu proses pemulihan luka atas kehilangan orang yang kita kasihi. Kemarahan-kemarahannya yang dengan gamblang dinyatakan dalam tulisan ini, membuat saya terus bertanya. Bagaimana sikap kita ketika melayankan kebaktian penghiburan? Bagaimana kontribusi “iman” itu dapat dinyatakan kepada orang-orang yang berduka. Akh, tampaknya menulis khotbah-khotbah penghiburan akan semakin sulit…. Atau mungkin, pada satu saat nanti, saya hanya memeluk orang yang berduka sebagai ganti khotbah penghiburan itu. Mungkinkah?