GERBANG MENUJU OTENSITAS

Esai kedua yang fokus pada ajaran pokok filsafat eksistensialis Kierkegaard mengenai kecemasan dan keputusasaan.

Gerbang Menuju Otentisitas: Kecemasan dan Keputusasaan dalam Filsafat Kierkegaard

PENDAHULUAN

Dalam lanskap filsafat eksistensial, Søren Kierkegaard berdiri sebagai tokoh sentral yang menyoroti inti pengalaman manusia: pergulatan internal yang mendalam. Bagi Kierkegaard, masalah pokok eksistensi manusia tidak hanya berakar pada dosa moral semata, melainkan pada dua fenomena psikologis dan spiritual yang tak terhindarkan: kecemasan (Angst) dan keputusasaan (despair). Ia tidak memandang keduanya sebagai emosi negatif yang patut dihindari, melainkan sebagai penanda esensial dan bahkan sebagai gerbang menuju kehidupan otentik dan iman sejati.

 

Kecemasan (Angst): Beban Kebebasan Mutlak

Kierkegaard memperkenalkan konsep Angst, yang berbeda dari rasa takut biasa. Rasa takut memiliki objek yang jelas—takut gagal, takut ketinggian, atau takut kehilangan. Namun, Angst adalah ketakutan tanpa objek yang spesifik; ia adalah kegelisahan mendalam terhadap “kemungkinan” itu sendiri.

Mengapa manusia mengalami Angst? Kierkegaard berargumen bahwa hal ini muncul dari kesadaran manusia akan kebebasan mutlak yang dimilikinya. Tidak seperti hewan yang didorong oleh insting, manusia memiliki kesadaran diri dan kapasitas untuk memilih. Kita dihadapkan pada kemungkinan tak terbatas tentang siapa kita bisa menjadi dan apa yang bisa kita lakukan. Inilah yang ia sebut “kemungkinan yang menggelisahkan.” Dengan kebebasan ini datanglah beban tanggung jawab yang luar biasa. Setiap pilihan yang kita buat adalah pilihan kita sendiri, dan kita sepenuhnya bertanggung jawab atas konsekuensinya, tanpa bisa menyalahkan takdir atau orang lain.

Kesadaran akan tanggung jawab penuh ini, ditambah dengan ketidakpastian masa depan yang belum terbentuk, menciptakan Angst. Kita harus terus-menerus memilih dan membentuk diri kita tanpa jaminan hasil yang pasti. Angst adalah respons alami terhadap beratnya kemungkinan dan tanggung jawab yang kita miliki sebagai individu yang bebas, yang “menggantung” di atas jurang pilihan.

 

Keputusasaan (Despair): Penyakit Diri yang Mematikan

Jika Angst terkait dengan kebebasan dan kemungkinan, maka keputusasaan (despair) adalah “penyakit sampai mati.” Ini adalah kondisi yang lebih parah, yang muncul ketika individu mencoba tidak menjadi diri sendiri atau tidak mengakui keberadaan dirinya di hadapan Tuhan. Keputusasaan adalah kegagalan untuk menerima identitas kita yang unik dan fana, dengan segala kelemahan dan kemungkinan yang ada.

Kierkegaard mengidentifikasi dua bentuk utama keputusasaan:

  1. Keputusasaan Kelemahan (Tidak Mau Menjadi Diri Sendiri): Ini terjadi ketika seseorang menolak untuk menerima dirinya sendiri, dengan segala kerapuhan, dosa, dan keterbatasannya. Individu ini berusaha untuk menjadi orang lain, meniru idealisme yang tidak realistis, atau melarikan diri dari kenyataan dirinya melalui kesenangan duniawi (tahap estetis) atau melalui kepatuhan buta pada norma sosial (tahap etis). Mereka enggan menghadapi siapa diri mereka di hadapan Tuhan.
  2. Keputusasaan Perlawanan (Terlalu Ingin Menjadi Diri Sendiri Tanpa Tuhan): Ini adalah bentuk keputusasaan yang lebih memberontak. Seseorang sangat ingin menjadi dirinya sendiri, tetapi mencoba melakukannya dengan kekuatannya sendiri, menolak ketergantungan pada Tuhan atau melupakan statusnya sebagai ciptaan. Mereka mungkin merasa terlalu bangga atau mandiri, percaya bahwa mereka bisa membangun makna dan identitas sepenuhnya sendiri. Namun, karena manusia pada akhirnya adalah makhluk terbatas dan fana, upaya ini pada akhirnya akan hancur dan menghasilkan kekosongan yang mendalam.

Dalam kedua bentuk ini, keputusasaan adalah ketidakselarasan antara diri yang sesungguhnya dan diri yang ingin kita tampilkan atau idealisasikan. Ini adalah kegagalan untuk menempatkan identitas kita pada fondasi yang kokoh, yaitu dalam hubungan dengan Tuhan.

 

Gerbang Menuju Otentisitas dan Iman

Bagi Kierkegaard, kecemasan dan keputusasaan bukanlah akhir, melainkan permulaan yang krusial. Mereka adalah sinyal yang tak terbantahkan bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam cara kita menjalani hidup. Mereka adalah “gerbang” yang memaksa kita untuk menghadapi realitas eksistensi kita dan mendorong kita menuju kebenaran.

  • Angst mendorong kita untuk memilih: Ketika kita merasakan Angst, kita dipaksa untuk mengakui kebebasan kita dan pentingnya membuat pilihan yang otentik, melampaui hidup yang pasif atau ditentukan oleh orang lain.
  • Keputusasaan menuntut penyelarasan: Ketika kita mengalami keputusasaan, kita dihadapkan pada kegagalan upaya kita untuk menemukan makna dan identitas secara mandiri. Ini memaksa kita untuk mencari fondasi yang lebih dalam, yang bagi Kierkegaard hanya dapat ditemukan dalam hubungan pribadi dengan Tuhan melalui “lompatan iman.”

Hidup otentik, oleh karena itu, muncul ketika individu menghadapi Angst dan keputusasaan ini secara langsung dan jujur. Ini adalah ketika kita mengakui kebebasan kita, menerima tanggung jawab kita, dan kemudian, dalam tindakan iman yang radikal, menyerahkan diri kita kepada Tuhan. Di sinilah identitas sejati kita ditemukan, dan kehidupan otentik, dalam segala kerapuhan dan kebebasannya, dapat mulai terwujud. Kierkegaard mengajak kita untuk merangkul kegelisahan eksistensial ini, karena hanya dengan berani menghadapinya, kita dapat menemukan jalan menuju diri yang sesungguhnya di hadapan Yang Ilahi.