ISLAM PRIBUMI DAN PURITAN

ISLAM PRIBUMI DAN ISLAM PURITAN:  (lanjutan)

Ikhtiar Menemukan Wajah Islam Indonesia Berdasar Proses Dialektika Pemeluknya dengan Tradisi Lokal

Umma Farida

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kudus Email: mafarahman@gmail.com

https://media.neliti.com/media/publications/61331-ID-islam-pribumi-dan-islam-puritan-ikhtiar.pdf

1.Pandangan Islam Puritan  jelas berbeda dari apa yang diyakini Islam Pribumi yang menyebutkan bahwa Islam tidak lahir dari ruang dan lembaran kosong. Menurutnya, Islam yang ideal sebagaimana yang dibayangkan kaum Islam puritan itu sebenarnya tidak ada. Sejatinya yang ada hanyalah Islam yang riil hidup di tengah masyarakat.

2.Sayyid Vali Reza Nasr sebagaimana dikutip Syafiq Hasyim lebih suka menyebut para puritan di belahan dunia Islam sebagai Islam revivalis. Menurutnya, istilah ini menyimpan makna yang lebih dalam, tidak hanya menggambarkan fenomena gerakan penafsiran agama yang didasarkan kepada teks semata, akan tetapi merupakan gerakan yang sangat berkaitan dengan  persoalan-persoalan politik umat, pembentukan identitas, persoalan kekuasaan dalam masyarakat yang plural. Dengan demikian, istilah revivalisme ini lebih luas jangkauannya karena pada kenyataannya kemunculan gerakan Islam radikal di negaranegara Islam di Timur Tengah maupun Asia memang tidak sematamata didorong oleh keinginan mereka untuk menerapkan makna literal dari teks-teks suci dalam kehidupan nyata, dan tidak hanya pula sekadar tandingan terhadap cengkeraman Barat, akan tetapi lebih filosofis.18

3.Islam puritan sering dianggap tidak mempertimbangkan proses asimilasi dan akulturasi adat dan kepercayaan setempat. Akibatnya, banyak kalangan yang berpandangan bahwa Islam puritan terinspirasi oleh Wahabisme yang sangat gencar melawan semua bentuk apresiasi terhadap adat dan tradisi lokal. Dasar klaim dari gerakan Wahabi ini adalah bahwa agama sudah tidak benar dipahami oleh para pengikutnya sebagaimana pada masa Nabi saw., sehingga mereka merasa berkepentingan untuk menyerukan kembali kepada ortodoksi syariah yang akan memurnikan Islam sesuai kriteria al-Qur’an dan Sunnah.

4.Wahabisme ini sering merujuk kepada Muhammad ibn Abd al-Wahab sebagai pendirinya. Beberapa karakter yang menjadi platform dari gerakan ini antara lain:

4.1.Pertama, mereka cenderung melakukan interpretasi literal terhadap teksteks suci agama. Menolak pemahaman kontekstual atas teks agama, karena pemahaman seperti ini dianggap akan mereduksi kesucian agama.

4.2.Kedua, menolak pluralisme dan relativisme, karena menurutnya dua hal ini merupakan distorsi pemahaman terjadap ajaran agama.

4.3.Ketiga, memonopoli kebenaran atas tafsir agama, cenderung menganggap dirinya sebagai pemegang otoritas penafsir agama yang paling absah, sehingga cenderung menganggap sesat kepada kelompok yang tidak sealiran dengan mereka.

5.Adapun faktor yang melatarbelakangi mudahnya spirit pembaharuan Wahabi diterima oleh beberapa ulama Indonesia di antaranya adalah karena medan dakwah nusantara yang berhadapan langsung dengan ajaran animisme, dinamisme, dan pengaruh Hindu-Budha. Faktor inilah yang menjadikan mereka mudah mengadopsi doktrin pemurnian tauhid, dengan harapan agar umat Islam Indonesia dapat lebih cermat dalam menjalankan ajaran Islam, sehingga tidak tercampur dengan budaya lokal yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang murni.20

6.Dengan adanya pembedaan antara Islam pribumi dan Islam puritan seakan menjadikan adanya dikotomi yang mengesankan pemisahan antara model-model Islam tersebut. Islam seperti dikotak-kotakkan, bahkan sebagian kalangan menilai, jika hal ini diteruskan dapat memburukkan citra Islam di mata dunia, bahkan justru membahayakan eksistensi Islam itu sendiri yang separatis dan mudah diprovokasi dan dihancurkan oleh kelompok lain. Sementara kalangan lainnya menilai bahwa dengan hadirnya Islam pribumi atau Islam Nusantara justru akan memperbaiki citra Islam di mata dunia. Islam tidaklah rentan dengan kekerasan dan terorisme.

7.Sejatinya, tidak ada yang salah dengan Islam puritan atau Islam Arab dalam mengekspresikan keberagamaan atau keislaman seseorang. Tetapi yang menjadi masalah adalah menggunakan ekspresi kearaban sebagai ekspresi tunggal dan dianggap paling absah dalam beragama, terlebih jika kemudian budaya yang ada dianggap sebagai sesuatu yang sesat, musyrik dan bid’ah. Seharusnya agama bisa hidup berdampingan dengan ekspresi budaya, bukan saling menafikan satu sama lain. Sementara di sisi lain, pribumisasi Islam pun bukan tanpa bahaya. Akomodasi dan akulturasi suatu saat bisa menghasilkan suatu identitas yang karakter Islaminya bisa terkikis atau bahkan bisa dianggap sama sekali tidak Islami. Untuk menyelamatkan karakter Islamnya, lembaga-lembaga Islam pribumi di luar sektor modern, seperti sistem pesantren tradisional, harus diidentifikasi dan digunakan dalam membangkitkan kembali komunitas muslim Indonesia.22