KEMATIAN TIDAK ADA?

 Kematian Tidak Ada? Menguji Sains Kuantum dengan Iman Kristen

PENDAHULUAN

1.Baru-baru ini, muncul sebuah buku yang menarik perhatian dunia, terutama di Jepang. Judulnya Shiwa Son (Kematian Tidak Ada) oleh seorang pakar fisika kuantum bernama Hiroshi Tasaka. Buku ini menawarkan jawaban yang sangat unik: Kematian fisik memang terjadi, tetapi kesadaran kita abadi dan tersimpan di suatu tempat bernama Medan Titik Nol (Zero Point Field/ZPF). ZPF ini, katanya, adalah versi ilmiah dari Catatan Akashic (Akashic Records).

2.Ide ini sangat kuat karena menjanjikan keabadian, tetapi dia menyangkal adanya siksaan fisik abadi (Neraka) dan menawarkan pandangan universal bahwa semua orang akan masuk ke kondisi damai setelah mati.

3.Lantas, bagaimana teologi Kristen mengevaluasi klaim-klaim revolusioner dari fisika kuantum dan spiritualitas ini? Mari kita bedah.

I.Titik Temu #1: Jiwa Memang Kekal (The Eternal Soul)

Percaya atau tidak, ada satu poin mendasar yang disetujui oleh Kekristenan dan buku Shiwa Son: Kesadaran (atau Jiwa/Roh) tidak lenyap setelah tubuh mati.

Dalam teologi Kristen, sejak awal diajarkan bahwa manusia bukanlah sekadar sekumpulan materi. Kita adalah makhluk dualistis—terdiri dari tubuh (sementara) dan roh/jiwa (kekal). Kematian fisik hanyalah pintu gerbang atau transisi, di mana roh meninggalkan tubuh untuk memasuki realitas baru.

Oleh karena itu, ketika Tasaka menyatakan bahwa “kematian tidak ada karena kesadaran akan terus ada selamanya,” teologi Kristen akan mengangguk setuju. Inti terdalam diri kita tidak musnah menjadi ketiadaan. Inilah yang menjadi sumber harapan bagi jutaan orang percaya: mereka akan bertemu kembali dengan Tuhan dan orang yang mereka kasihi.

II.Titik Konflik #2: Ke Mana Jiwa Pergi? (Destiny)

Meskipun setuju bahwa jiwa bertahan, Kekristenan dan Shiwa Son punya perbedaan besar mengenai ke mana tujuan jiwa itu.

Buku Shiwa Son menjelaskan bahwa kesadaran kita menyatu ke dalam Medan Titik Nol (ZPF). Tempat ini digambarkan sebagai wadah impersonal yang menyimpan semua informasi semesta—sebuah proyeksi holografik 3D.

Teologi Kristen menolak konsep ini dengan keras, bukan karena ZPF tidak ilmiah, tetapi karena Tuhan itu pribadi.

  1. Tuhan yang Personal vs. Medan Impersonal: Kekristenan percaya pada Tuhan yang hidup, yang memiliki hubungan pribadi dengan ciptaan-Nya. Surga adalah kehadiran abadi bersama Pribadi yang Maha Kasih (Tuhan), bukan melebur menjadi data di sebuah medan energi kosong. Menjadikan Tuhan atau Surga sebagai “proyeksi holografik” menghilangkan esensi hubungan, doa, dan kasih karunia.
  2. Keselamatan dan Peran Kristus: Menurut Shiwa Son, semua orang masuk ke keadaan bahagia (Nirwana) karena penderitaan fisik hilang. Ini meniadakan doktrin inti Kristen: Dosa, Penghakiman, dan Keselamatan melalui Yesus Kristus. Bagi Kekristenan, Neraka bukanlah karena Tuhan suka menyiksa, melainkan konsekuensi logis dari penolakan terhadap kasih dan standar kekudusan Tuhan. Tanpa penebusan Kristus, semua orang berada di bawah penghakiman. Jika semua orang secara otomatis “diselamatkan” hanya karena tubuh mereka mati, maka seluruh kisah Paskah dan misi Kristus menjadi tidak relevan.

III.Titik Konflik #3: Menyangkal Neraka Fisik

Tasaka berargumen bahwa gambaran neraka yang penuh siksaan fisik hanyalah alat kontrol sosial yang tidak mungkin terjadi setelah tubuh mati.

  • Respon Kristen: Walaupun betul bahwa gambaran neraka seringkali menggunakan metafora (api, cacing), esensi neraka dalam Alkitab bukanlah pada detail fisik yang spesifik, melainkan pada pemisahan kekal dari Tuhan—sumber segala kebaikan, damai, dan terang. Perpisahan ini adalah siksaan yang jauh lebih buruk daripada rasa sakit fisik manapun. Teologi tidak meniadakan pertanggungjawaban moral; justru menegaskan bahwa setelah mati, kita mempertanggungjawabkan pilihan moral kita di hadapan Allah yang adil.

IV.Sains vs. Wahyu (Science vs. Revelation)

Penting untuk dipahami bahwa Shiwa Son mencoba menjelaskan alam baka berdasarkan hipotesis fisika kuantum. Sementara itu, Kekristenan mendasarkan pandangannya pada Wahyu (Revelation), yaitu kebenaran yang diungkapkan langsung oleh Tuhan melalui Kitab Suci.

Kekristenan menghargai sains (termasuk fisika kuantum) sebagai alat untuk memahami bagaimana alam semesta bekerja. Namun, sains hanya dapat mengamati dan mengukur materi. Sains tidak dapat mengukur keadilan, kasih, atau makna keberadaan, dan tidak dapat memverifikasi Surga atau Neraka.

Ketika sains (hipotesis ZPF) bertentangan dengan wahyu yang diyakini sebagai kebenaran mutlak (Surga, Neraka, Keselamatan oleh Kristus), bagi orang Kristen, wahyulah yang menjadi dasar keyakinan.

Kesimpulan

1.Buku Shiwa Son adalah bacaan yang merangsang pikiran dan memberikan dorongan menarik pada perdebatan kuno: Bisakah ilmu pengetahuan menjelaskan spiritualitas?

2.Dari sudut pandang teologi Kristen, buku ini melakukan pekerjaan yang baik dalam memperkuat keyakinan bahwa jiwa itu abadi. Namun, buku ini gagal total dalam menjelaskan Mengapa keabadian itu penting.

3.Kekristenan tidak hanya menawarkan keberadaan abadi (seperti yang ditawarkan ZPF), tetapi menawarkan makna, hubungan, dan penebusan dalam keabadian itu. Pertanyaannya bukan “Apakah kita akan mati?” tetapi “Bagaimana kita bisa hidup abadi secara benar, dalam hubungan yang utuh dengan Pencipta kita?” Dan di sana, teologi Kristen akan selalu kembali kepada Pribadi Yesus Kristus, bukan kepada medan energi impersonal.