Perang Candu di Tiongkok: Sejarah, Moralitas, dan Refleksi Dunia Modern
- Pendahuluan: Ketika Perdagangan Menjadi Penjajahan
Sejarah dunia modern menyimpan banyak babak kelam di mana kepentingan ekonomi dan kekuasaan mengorbankan kemanusiaan. Salah satu contohnya yang paling tragis adalah Perang Candu (Opium Wars) di Tiongkok, yang terjadi pada abad ke-19. Perang ini bukan sekadar konflik bersenjata antara dua bangsa, melainkan simbol ketidakadilan kolonialisme, kekalahan etika dalam perdagangan global, dan permulaan “Abad Penghinaan” (Century of Humiliation) bagi rakyat Tiongkok.
- Ketegangan Dagang dan Perdagangan Candu
2.1.Pada awal 1800-an, Tiongkok di bawah Dinasti Qing merupakan kekuatan ekonomi besar yang sangat tertutup terhadap pengaruh luar. Perdagangan luar negeri dibatasi ketat hanya di pelabuhan Kanton (Guangzhou). Inggris sangat bergantung pada ekspor teh, sutra, dan porselen dari Tiongkok, namun tidak memiliki cukup komoditas untuk ditukar secara seimbang. Akibatnya, terjadi defisit neraca perdagangan yang besar.
2.2.Untuk mengatasi hal ini, Inggris mulai menyelundupkan candu (opium) dari India ke Tiongkok. Konsumsi candu meluas dengan cepat, menyebabkan krisis kesehatan, moral, dan ekonomi di dalam negeri. Ketika pemerintah Tiongkok mencoba menghentikannya, Inggris justru menggunakan kekuatan militernya untuk mempertahankan perdagangan yang sangat menguntungkan ini.
- Dua Perang dan Penjajahan Melalui Perjanjian
A.Perang Candu Pertama (1839–1842)
Tiongkok menunjuk Lin Zexu, pejabat yang tegas dan anti-korupsi, untuk menumpas candu. Ia menyita dan memusnahkan persediaan opium milik pedagang Inggris. Tindakan ini dianggap ofensif oleh Inggris, yang kemudian meluncurkan serangan militer.
Tiongkok kalah, dan dipaksa menandatangani Perjanjian Nanking (1842):
- A1.Menyerahkan Hong Kong kepada Inggris.
- A2.Membuka lima pelabuhan untuk perdagangan bebas.
- A3.Membayar ganti rugi besar.
- A4.Memberikan status ekstrateritorial bagi warga asing.
B.Perang Candu Kedua (1856–1860)
Ketika Tiongkok mencoba membatasi kembali pengaruh asing, Inggris—dengan bantuan Prancis—melancarkan perang kedua. Hasilnya lebih buruk:
- B1.Istana Musim Panas di Beijing dijarah dan dibakar.
- B2.Perjanjian Tianjin dan Konvensi Peking memaksa Tiongkok:
- B2.1.Melegalkan perdagangan candu.
- B2.2.Memberi izin penuh kepada misi Kristen.
- B2.3.Membuka lebih banyak pelabuhan.
- Dampak: Awal dari “Abad Penghinaan”
Kedua perang tersebut secara sistematis:
- 4.1.Melemahkan legitimasi dan kekuasaan Dinasti Qing.
- 4.2.Membuka jalan bagi intervensi asing dan kolonialisme Jepang.
- 4.3.Memicu krisis internal, seperti Pemberontakan Taiping.
- 4.4.Menghancurkan kepercayaan diri nasional rakyat Tiongkok.
Perang ini menandai dimulainya masa penuh luka bagi Tiongkok, yang hanya berakhir pada abad ke-20 ketika gerakan nasionalisme mulai membangun kembali jati diri bangsa.
- Refleksi Filsafat Moral dan Etika Perdagangan
5.1.Perang Candu bukan hanya tragedi geopolitik, tetapi juga cermin kelam kegagalan moral dalam sejarah Barat. Dari sudut pandang etika deontologis (Immanuel Kant), tindakan Inggris yang memperdagangkan candu demi laba ekonomi jelas salah. Inggris memperlakukan rakyat Tiongkok sebagai alat, bukan sebagai manusia bermartabat.
5.2.Bahkan dari sudut utilitarianisme, jika dihitung berdasarkan penderitaan sosial dan kehancuran jangka panjang, keuntungan ekonomi jangka pendek tidak pernah membenarkan kebijakan tersebut.
5.3.Kata-kata Lin Zexu, dalam suratnya kepada Ratu Victoria, menggugah hati nurani sejarah:
“Jika candu tidak diizinkan di negara Anda, mengapa Anda mengirimkannya ke negara kami?”
Pertanyaan ini tidak hanya menyentuh keadilan, tetapi menggugat kemunafikan peradaban yang mengaku menjunjung tinggi hukum dan moralitas, tetapi tega menjajah melalui candu.
- Relevansi Masa Kini: Moralitas dalam Perdagangan Global
6.1.Perang Candu mengingatkan kita bahwa ekonomi tidak pernah netral secara moral. Ketika perdagangan tidak diimbangi dengan nilai dan keadilan, ia dapat menjadi alat penindasan. Dalam dunia modern—dengan perang dagang, ketergantungan utang, dan krisis ekologi global—pelajaran dari Tiongkok abad ke-19 tetap sangat relevan.
6.2.Dalam terang ini, kita belajar bahwa kemajuan harus disertai kompas moral, dan bahwa kita tidak bisa hanya menilai kebijakan dari sisi keuntungan, tetapi juga dari dampaknya terhadap manusia, martabat, dan keadilan.
- Penutup: Mengenang untuk Tidak Mengulang
Perang Candu adalah peringatan bahwa bangsa yang kuat secara militer dan ekonomi bisa sekaligus menjadi lemah secara moral. Sejarah ini bukan hanya milik Tiongkok, tetapi milik kita semua—sebagai warga dunia yang bertanggung jawab membangun masa depan lebih adil.
Kiranya kita belajar dari sejarah, agar kekuatan tidak lagi menjadi alat penindasan, dan perdagangan tidak lagi menjadi topeng bagi penjajahan.