TIDAK ADA WASIT DI ANTARA MANUSIA DAN ALLAH
Ayb 9:1-35
Agak sulit untuk kita menentukan apakah ucapan-ucapan Ayub dalam pasal ini tentang Allah bernada positif atau negatif. Itu terkait dengan pertanyaan apakah ucapan-ucapan itu ditujukannya untuk dilihat dari sudut pendengarnya (para sahabatnya), atau dari sudut dirinya sendiri, atau dari sudut Allah. Mungkin yang paling baik adalah menempatkan perikop ini dalam kaitan dengan ucapan Bildad yang mendakwa Ayub
Pertanyaan Ayub bukan, “bagaimana orang berdosa dapat dibenarkan di hadapan Allah,” atau “bagaimana orang yang serba terbatas dapat benar di hadapan Allah.” Pertanyaan Ayub yang yakin bahwa dirinya tidak bersalah: “Bagaimana orang yang tidak bersalah, dapat dinyatakan demikian oleh Allah?” Menurutnya, tidak mungkin. Mengapa?
Pertama, karena alasan keberadaan. Realitas Allah melampaui realitas manusia. Ia tidak terbatas dalam kebijakan, kekuatan, kemampuan, sebab Ia Pencipta segala sesuatu (ayat 4-10).
Kedua, karena alasan posisi Allah sebagai Allah dan manusia sebagai manusia. Allah tidak di posisi harus mempertanggungjawabkan tindakan-tindakan-Nya kepada manusia. Manusialah yang wajib bertanggungjawab kepada Allah (ayat 3, 11-18). Jika Ia menjelaskan sesuatu pun, belum tentu manusia menyadari atau memahami suara Allah. Oleh karena kebebasan Allah itu, maka di dalam keterbatasannya manusia mustahil dapat memahami Dia secara tepat dan benar. Nah, sampai di sini ucapan Ayub ini jelas mengritik Bildad dan masih menjunjung Allah.
Namun, mulai ayat 29 seolah muncul keraguan Ayub terhadap Allah. Jika Allah mutlak dan bebas di luar pemahaman manusia dan tidak harus menjawab manusia dan tidak mungkin dipahami manusia, bukankah kesimpulannya sangat negatif? Apa gunanya kudus, apa gunanya lagi berusaha mempertahankan hidup benar? Bagaimana mungkin mendapatkan wasit yang adil antara manusia dan Allah? Ini memang pergumulan serius sekali.
Renungkan: Siapakah dapat menjadi pengantara yang mendamaikan manusia dengan Allah dan membuat kehendak Allah terselami, terpahami, terjalani oleh manusia? Yesuslah jawabannya.
ALLAH BEBAS BERTINDAK, TETAPI TIDAK PERNAH SALAH BERTINDAK
Ayb 9:1–10:22
Di dalam bukunya, The Lion, the Witch, and the Wardrobe, C. S. Lewis menggunakan figur singa sebagai perlambangan Tuhan. Lewis menggambarkan kemahakuasaan Tuhan sebagai sesuatu yang mendebarkan, namun meneduhkan. Mendebarkan karena kita tidak dapat mengatur Tuhan; meneduhkan sebab Ia baik.
Sebenarnya Ayub sudah memiliki pemahaman yang benar tentang Tuhan. Ia sadar bahwa Tuhan bebas berkehendak dan tidak ada seorang pun yang dapat atau berhak menggugat keputusan-Nya. Bahkan Ayub tidak membantah pernyataan bahwa Allah itu adil dan berkuasa. Namun, di dalam kesengsaraannya, Ayub menggugat dan mempertanyakan ketetapan-Nya. Ia merasa tidak selayaknya menderita seperti ini. Bagi Ayub, Tuhan telah bertindak tidak adil. Ada kalanya kita pun menggugat Tuhan bahwa Ia tidak adil. Kita marah karena yang kita dapatkan tidak seperti yang kita harapkan, sebab bukankah kita telah hidup dengan benar di hadapan Tuhan?
Bila kita perhatikan, jawaban-jawaban yang diungkapkan Ayub selain menyatakan betapa berdaulatnya Allah, juga mengungkapkan betapa lemahnya manusia. Betapa berkuasanya Pencipta atas ciptaan-Nya. Ayub sungguh menyadari siapa dia yang sesungguhnya di hadapan Allah. Ia tidak mampu melawan kehendak-Nya meski dengan kekuatan penuh. Kesadaran Ayub ini membuatnya mampu menghadapi dan mengatasi penderitaan yang dialaminya.
Kadang mengikut Tuhan membuat kita berdebar penuh keragu-raguan karena kita tidak tahu apa yang akan Ia perbuat kemudian. Keragu-raguan ini yang kerap menimbulkan kesulitan dalam diri kita untuk menyadari bahwa kuasa Allah hadir dalam penderitaan tiap-tiap orang. Seandainya tiap-tiap orang memiliki kesadaran bahwa Dialah Tuhan, Dialah yang menetapkan segalanya, maka penderitaan yang berat sekalipun akan mampu dihadapi.
Renungkan: Jika Tuhan mengizinkan kita mengalami penderitaan, yakinlah bahwa Dia pasti akan memberikan pertolongan-Nya kepada kita untuk kita menemukan kekuatan-Nya.
PENDALAMAN AYAT
Wycliffe: Ayb 9:1–10:22
d) Jawaban Ayub kepada Bildad (9:1-10:22).
Melanjutkan pola umum dari jawabannya terdahulu, Ayub terlebih dahulu berbicara kepada sahabat-sahabatnya (9:1-24), kemudian sedikit banyaknya secara langsung kepada Allah (9:25-10:22). Ayub mengawali penyangkalannya terhadap apa yang dikemukakan Bildad dengan sebuah pembenaran bernada sindiran terhadap tema pembukaan (dan mendasar) (9:2; bdg. 8:3) dari Bildad dan mengakhirinya dengan sebuah pertentangan keras terhadap bagian penutup (dan dominan) dari pandangan Bildad (9:22-24; bdg. 8:20-22). Sesudah itu Ayub melanjutkan keluhannya terhadap Allah dengan sikap menentang yang nekat sebagai akibat dari nasihat para sahabatnya. Di dalam – keluhan ini Ayub masuk ke dalam bagian yang paling gelap dari keadaan terasingnya dari Allah menurut pemahamannya. Sekalipun di dalam melakukan hal ini dia nyaris saja menghujat, dia tidak berbalik meninggalkan Allah dengan kutukan namun melanjutkan pergumulannya di dalam doa. Iblis tidak bisa mengambilnya dari tangan Bapanya.
SUMBER:
http://alkitab.sabda.org/commentary.php?book=18&chapter=9&verse=1