“YESUS SEBAGAI PENGGENAP TEMPAT IBADAH”
TEMPAT IBADAH BANGSA ISRAEL
Fase Davidik sampai Paska-Pembuangan
1.Pada masa Daud dan sesudahnya juga terjadi dua perkembangan dalam konsep bangsa Israel mengenai tempat ibadah mereka. Perkembangan pertama, tentu saja, ide tempat ibadah yang lebih permanen. Meskipun pembangunan tempat ibadah permanen baru terlaksana pada masa Salomo, tetapi ide awal pendirian tempat ibadah yang demikian dicetuskan oleh Daud (2 Samuel 7:1-3; 1 Tawarikh 17:1- 2). Bahkan Daudlah yang mempersiapkan mayoritas material dan sumber daya manusia untuk pembangunan Bait Allah tersebut (1 Tawarikh 22:2 dan seterusnya; 28:1-29:9). 10
2.Perkembangan kedua ialah penegasan terhadap signifikansi satu tempat ibadah. Sejak Salomo mendirikan Bait Allah, maka konsep satu tempat ibadah bagi bangsa Israel makin diperkuat, sebab hanya di Bait Sucilah tempat yang Allah kuduskan bagi nama-Nya (band. 1 Raja-Raja 9:7).
3.Penegasan ini makin terlihat jelas dalam dua hal.
Pertama, rujukan yang cenderung bernada negatif terhadap raja-raja yang tidak memusnahkan bukit-bukit pengorbanan, meskipun secara umum mereka memiliki karakter hidup yang baik. Misalnya Asa (1 Raja-Raja 15:14 ), Yosafat (1 Raja-Raja 22:44), Yoas (2 Raja-Raja 12:3), Amazia (2 RajaRaja 14:4), Azarya (2 Raja-Raja 15:3), dan Yotam (2 Raja-Raja 15:35). Beberapa orang menganggap bukit-bukit pengorbanan tersebut merupakan bukit-bukit pengorbanan bagi berhala, sehingga rujukan negatif tersebut dimaksudkan untuk mencela toleransi raja-raja tersebut terhadap penyembahan berhala yang masih di terjadi di kalangan bangsa Israel; bukan soal sentralitas tempat ibadah. Akan tetapi, pandangan demikian nampaknya tidak terlalu tepat, khususnya karena rujukan di 1 Raja-Raja 3:2 yang mengaitkan keberadaan bukit-bukit pengorbanan tersebut dengan belum adanya Bait Allah. Ayat ini jelas mengindikasikan bahwa bukit-bukit pengorbanan tersebut dibuat untuk penyembahan kepada Allah, bukan untuk penyembahan kepada berhala. Jadi, masalah dengan bukit-bukit pengorbanan ialah karena keberadaannya mengingkari perintah yang disampaikan melalui Musa, bahwa hanya boleh ada satu tempat ibadah.11
4.Penegasan kedua ialah munculnya teologi doa dengan berpusat (1 Raja-Raja 8:31-43) dan berkiblat (1 Raja-Raja 8:44-45; 48-49) pada Bait Allah di dalam doa Salomo. Pada masa selanjutnya, aspek ini nampaknya mengakar lebih kuat dalam diri bangsa Yehuda. Misalnya, praktik doa kiblat yang dilakukan Daniel di dalam Daniel 6:11, jelas sangat dipengaruhi konsep bahwa hanya ada satu tempat ibadah yang benar, simbol kehadiran Allah yang sah, yakni di Yerusalem. Karena itulah, ia berdoa menghadap ke Yerusalem.
5.Konklusi Dari pembahasan singkat di atas, terlihat bahwa konsep tempat ibadah di dalam Perjanjian Lama, mulai dengan bentuk yang masih sederhana, yakni sporadis dan tidak permanen, menuju ke bentuk yang semi permanen dan terpusat di masa Musa, hingga akhirnya mencapai bentuk yang permanen dan sangat terpusat di masa Daud dan sesudahnya. Satu aspek penting yang perlu diperhatikan di sini ialah sentralitas tempat ibadah tersebut. Hanya ada satu tempat ibadah di tempat yang Tuhan tentukan, tidak ada yang lain!
6.Signifikansi ini terlihat jelas pada masa kemudian ketika Zerubabel dan Herodes membangun kembali Bait Allah di situs yang sama dengan tempat Salomo membangun Bait Allah pertama kali. Sementara catatan di Kisah Rasul 2 mengenai orang-orang Yahudi yang berkumpul di Yerusalem pada perayaan Pentakosta nampaknya mengindikasikan bahwa konsep sentralitas tempat ibadah ini bertahan, setidaknya, hingga masa hidup Tuhan Yesus dan para rasul.
SUMBER:
http://sttaletheia.ac.id/wp-content/uploads/2016/04/Yesus-Sebagai-Penggenap-Tempat-Ibadah-dalam-Injil-Yohanes_Stefanus-Kristianto.pdf