PENDAHULUAN
Pada 21 Februari 2025, Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, mengeluarkan instruksi kepada seluruh kepala daerah dari PDIP untuk menunda kehadiran mereka dalam acara retret yang diselenggarakan di Akademi Militer (Akmil) Magelang. Instruksi ini disampaikan melalui surat edaran resmi partai.
ANALISA KRITIS
Analisis kritis terhadap situasi ini perlu mempertimbangkan berbagai aspek, baik dari sudut pandang hukum, etika politik, maupun prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
1. Aspek Hukum: Loyalitas terhadap Undang-Undang
Secara hukum, seorang gubernur, bupati, atau wali kota yang telah terpilih melalui Pilkada memiliki status sebagai pejabat publik. Mereka diangkat berdasarkan konstitusi dan peraturan perundang-undangan, bukan sebagai perwakilan resmi partai politik di pemerintahan. Begitu mereka dilantik, sumpah jabatan yang mereka ucapkan adalah untuk mengabdi kepada negara dan masyarakat, bukan kepada partai politik yang mengusung mereka.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) adalah perwakilan pemerintah pusat yang memiliki otoritas dalam mengoordinasikan dan membina pemerintahan daerah sesuai dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Maka, jika seorang kepala daerah mengabaikan undangan atau instruksi dari Mendagri yang berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab mereka, itu bisa dianggap sebagai bentuk ketidakpatuhan terhadap sistem pemerintahan yang berlaku.
2. Aspek Etika Politik dan Good Governance
Di sisi lain, secara politis, seorang kepala daerah biasanya tetap memiliki kedekatan dengan partai yang mengusungnya, terutama karena partai berperan dalam pencalonan mereka dan bisa menentukan masa depan politik mereka (misalnya, jika ingin maju kembali di periode berikutnya). Namun, etika politik yang baik menuntut bahwa setelah terpilih, mereka harus memprioritaskan kepentingan publik di atas kepentingan partai.
Menolak hadir dalam acara resmi pemerintahan hanya karena instruksi partai menunjukkan bahwa pejabat tersebut lebih mengutamakan kepentingan partai dibandingkan tugas dan tanggung jawabnya sebagai kepala daerah. Ini bisa menjadi preseden buruk yang menunjukkan bahwa pejabat daerah masih dikendalikan oleh partai, bukan oleh amanah rakyat yang telah memilih mereka.
3. Implikasi dan Dampak
Jika kepala daerah lebih loyal kepada partai dibandingkan kepada pemerintah pusat:
• Dari perspektif tata kelola pemerintahan, ini melemahkan koordinasi antara pusat dan daerah serta dapat menghambat efektivitas program nasional yang memerlukan sinergi antara berbagai tingkatan pemerintahan.
• Dari perspektif hukum, dapat berpotensi menimbulkan pelanggaran administratif atau bahkan sanksi jika ada peraturan yang mewajibkan kepala daerah menghadiri acara pembekalan tersebut.
• Dari perspektif politik, ini memperlihatkan bahwa otonomi kepala daerah masih sangat terikat dengan partai politik, bukan sepenuhnya independen dalam menjalankan kebijakan untuk rakyat.
Kesimpulan
Dalam situasi seperti ini, kepala daerah seharusnya lebih mengutamakan kepentingan negara dan rakyat di atas kepentingan partai. Menghadiri pembekalan yang diselenggarakan Kemendagri merupakan bagian dari tugas mereka dalam menjalankan pemerintahan yang efektif dan berkoordinasi dengan pemerintah pusat. Jika mereka lebih memilih menaati instruksi partai dibandingkan memenuhi tugas pemerintahan, ini menandakan adanya loyalitas ganda yang tidak sehat dalam sistem demokrasi.
Pada akhirnya, hal ini menyoroti masalah yang lebih besar dalam politik Indonesia: bagaimana partai politik masih memiliki kontrol kuat terhadap pejabat publik, bahkan setelah mereka terpilih, sehingga mengaburkan batas antara kepentingan partai dan kepentingan negara.