PERKATAAN KETIGA –
“IBU, INILAH ANAKMU ! . . . . INILAH IBUMU !”
YOHANES 19 : 23 – 27
http://www.gkketapang.org/ibu-inilah-anakmu-inilah-ibumu/
* Yohanes 19:26
LAI TB, Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya: ‘Ibu, inilah, anakmu!’
* Yohanes 19:27
LI TB, Kemudian kata-Nya kepada murid-murid-Nya: ‘Inilah ibumu!’ Dan sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam rumahnya.
Ucapan ke-3 yang diutarakan oleh Tuhan Yesus dari atas kayu salib memperlihatkan kepedulian-Nya kepada sang ibu yang telah melahirkan dan membesarkan-Nya walaupun pada saat itu Ia sedang dalam penderitaan yang teramat sangat. Yesus meminta kepada murid yang dikasihi-Nya, Yohanes, agar merawat ibu-Nya. Menurut perkiraan banyak penafsir pada saat peristiwa itu Yusuf, ayah-Nya, telah lama meninggal. Dengan ucapan-Nya ini Tuhan Yesus secara bersamaan mempercayakan ibu-Nya kepada perlindungan Yohanes sementara juga meminta ibu-Nya untuk mengasihi dan memelihara Yohanes sebagai anaknya sendiri. Menurut tradisi yang tidak tercatat dalam Kitab Suci, diyakini Maria masih hidup 11 tahun sejak Paskah hingga saat wafatnya.
Dari perkataan salib ke-3 ini ada pesan yang sangat penting:
Pertama, kita melihat kepedulian Tuhan Yesus kepada ibu-Nya sebagai bentuk ketaatan. Walaupun sedang menderita, Yesus masih mempedulikan perasaan ibu-Nya. Walaupun semua yang tengah dialami Tuhan Yesus merupakan ketaatan kepada perintah Bapa-Nya, Ia juga menyadari bahwa ibu yang mengandung dan membesarkan-Nya tentu merasakan kepedihan yang mendalam (bnd. Luk. 2:35). Yesus memahami hal ini. Dia berempati dengan ibu-Nya.
Bagaimana dengan kita? Apakah kita sudah berbelarasa dengan orang lain, melampaui kepentingan kita? Tuntutan hidup masa kini mungkin membuat kita semakin mandiri dan merasa tidak perlu bergantung lagi pada Tuhan. Sudahkah kita taat dan bergantung terus dengan karya Tuhan? Apakah kita mendahulukan Tuhan dalam hidup kita? Kita perlu tetap ingat, Dialah pemilik hidup kita ini. Tuhan lebih utama dan itu tentunya terpancar dalam sikap kita terhadap sesama. Ketika kita berbelarasa dengan orang lain seperti Yesus yang mempedulikan ibu-Nya, bahkan di tengah kondisi penyaliban yang harus dilalui-Nya, Ia menunjukkan bagaimana Karya Agung Allah dilaksanakan.
Kedua, keintiman keluarga itu penting, tetapi keintiman iman lebih dari ikatan keluarga. Dalam peristiwa ini, ketika Yesus akan meninggalkan ibu-Nya, Ia ingin agar Yohanes sebagai murid yang dikasihi-Nya memperhatikan Maria ibu-Nya dan Maria menerima Yohanes sebagai anaknya dan menjadi ibu baginya. Kekuatan iman dan persekutuan yang ingin Ia tekankan dan mereka menerimanya (ay. 27). Jadi, sangat jelas keintiman iman seharusnya membuat orang percaya memiliki saudara dan kekuatan. Saudara seiman tidak menjadi ancaman sehingga tidak terjadi kegaduhan pelayanan. Keluarga inti itu penting tetapi keluarga iman (persekutuan) juga penting untuk saling menjaga dan memberkati. Dalam pelayanan-Nya Yesus pernah mengatakan, “Siapapun yang melakukan kehendak Bapa-Ku di sorga, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku” (Matius 12:50).