Anak Allah atau Anak Manusia? Memahami Natur Ganda Kristus
SERI 3 KRISTOLOGI
Dalam sejarah iman Kristen, salah satu pengakuan yang paling penting namun sering disalahpahami adalah bahwa Yesus Kristus memiliki dua natur: ilahi dan manusia. Pernyataan ini bukan sekadar doktrin teologis kering, tetapi merupakan fondasi keselamatan kita dan kekuatan penghiburan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, bagaimana mungkin satu pribadi bisa benar-benar Allah dan benar-benar manusia sekaligus? Mari kita kupas bersama secara sederhana dan alkitabiah.
Yesus sebagai Anak Allah: Sang Ilahi yang Kekal
Pengakuan bahwa Yesus adalah Anak Allah tidak berarti Ia “diciptakan” oleh Allah seperti manusia biasa. Dalam Yohanes 1:1-3, kita membaca, “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah.” Ayat ini menegaskan bahwa sebelum dunia dijadikan, Kristus (disebut “Firman”) sudah ada bersama Allah dan adalah Allah itu sendiri.
Sebagai Anak Allah, Yesus memiliki sifat-sifat ilahi: kekal, mahatahu, mahakuasa, dan kudus. Ia adalah Sang Pencipta (Kolose 1:16), bukan bagian dari ciptaan. Dalam Injil, kita juga melihat kuasa-Nya yang ilahi: Ia mengampuni dosa (Markus 2:5-12), menenangkan badai (Markus 4:39), dan membangkitkan orang mati (Yohanes 11:43-44). Ini bukan kuasa seorang nabi biasa, melainkan kuasa dari Allah sendiri.
Yesus sebagai Anak Manusia: Allah yang Menjadi Daging
Namun, keajaiban inkarnasi terletak pada kenyataan bahwa Sang Firman itu “telah menjadi manusia, dan diam di antara kita” (Yohanes 1:14). Ini berarti Yesus tidak hanya “menyerupai” manusia, tetapi sungguh-sungguh menjadi manusia seutuhnya. Ia lahir dari rahim Maria, bertumbuh seperti anak-anak lain, merasa lapar dan lelah, menangis, bahkan merasakan penderitaan dan kematian.
Gelar “Anak Manusia” sering digunakan Yesus untuk menyebut diri-Nya. Ini bukan sekadar pernyataan rendah hati, tetapi penggenapan nubuat Daniel 7:13–14, di mana Anak Manusia menerima kekuasaan dari Allah yang kekal. Di sinilah kita melihat keunikan Yesus: Ia bukan Allah yang jauh, tetapi Allah yang merendahkan diri untuk menjadi manusia—mengalami hidup seperti kita, namun tanpa dosa (Ibrani 4:15).
Mengapa Natur Ganda Ini Penting?
Pertanyaan pentingnya adalah: mengapa Yesus harus 100% Allah dan 100% manusia? Jawabannya berkaitan langsung dengan keselamatan kita.
Sebagai manusia sejati, Yesus mewakili kita. Ia hidup taat sepenuhnya kepada Allah, menggantikan ketidaktaatan kita. Ia menderita dan mati bukan untuk dosa-Nya sendiri, tetapi sebagai pengganti kita. Tanpa kemanusiaan-Nya, salib tidak akan memiliki nilai penebusan.
Namun, sebagai Allah sejati, pengorbanan-Nya memiliki nilai kekal. Hanya Allah yang bisa menanggung murka Allah dan menebus dosa seluruh umat manusia. Jika Yesus hanya manusia biasa, maka kematian-Nya tidak akan cukup untuk menyelamatkan siapa pun.
Inilah yang disimpulkan dalam Konsili Kalcedon tahun 451 M: Yesus Kristus adalah satu pribadi dengan dua natur, “tanpa bercampur, tanpa berubah, tanpa terpisah, dan tanpa terbagi.” Pernyataan ini menjaga keseimbangan iman Kristen: Yesus bukan separuh Allah dan separuh manusia, tetapi sepenuhnya keduanya dalam satu pribadi yang utuh.
Apa Artinya untuk Kita Hari Ini?
Natur ganda Kristus bukan hanya bahan pelajaran doktrin, tetapi menjadi sumber penghiburan dan kekuatan:
1. Kita tidak sendirian dalam penderitaan. Karena Yesus sungguh manusia, Ia mengerti penderitaan kita. Ia menangis, Ia merasa takut, Ia bergumul. Saat kita sakit hati atau menghadapi kematian, kita tahu bahwa Tuhan kita juga pernah merasakannya.
2. Doa kita didengar oleh Imam Besar yang mengerti kita. Ibrani 4:15-16 berkata bahwa karena Yesus adalah Imam Besar yang mengerti kelemahan kita, kita boleh datang dengan penuh keberanian ke hadapan takhta kasih karunia.
3. Keselamatan kita pasti. Karena Yesus adalah Allah sejati, kita tahu bahwa karya-Nya di salib cukup dan final. Kita tidak perlu menambah dengan usaha manusia untuk menyelamatkan diri.
Penutup
Yesus bukan hanya guru moral atau teladan hidup. Ia adalah Allah yang menjadi manusia, Sang Penebus yang sejati. Pengakuan bahwa Ia adalah Anak Allah dan Anak Manusia bukan sekadar kata-kata, melainkan kebenaran hidup yang menyentuh dasar iman dan pengharapan kita.
Kiranya pengenalan akan Kristus yang sejati ini mendorong kita semakin percaya, semakin berserah, dan semakin mengasihi Dia yang rela menjadi seperti kita—agar kita bisa menjadi seperti Dia.