Ketika menyaksikan pemakaman Paus Fransiskus di televisi mungkin kita akan memperhatikan ada sesuatu yang sangat menarik: upacara pemakamannya berlangsung dalam suasana doa yang khusyuk, tanpa pidato penghormatan dari para kepala negara, tanpa eulogi panjang tentang jasa-jasa almarhum. Semua berjalan dalam bentuk perayaan Misa Kudus, yang berfokus bukan kepada diri Paus, tetapi kepada kematian dan kebangkitan Kristus.
Kiranya ini menjadi pembuka mata bahwa dalam tradisi Katolik, pemakaman — bahkan untuk seorang Paus — bukanlah tentang mengagungkan orang yang meninggal, melainkan tentang meninggikan karya penyelamatan Kristus di kayu salib.
Fokus Pemakaman Katolik: Kristus, Bukan Orang yang Wafat
Dalam tradisi Katolik, pemakaman dilaksanakan dengan Misa Requiem, sebuah misa khusus untuk mendoakan jiwa orang yang meninggal. Dalam misa ini, fokus utamanya adalah:
• Memohon belas kasihan Allah untuk jiwa yang telah meninggal.
• Mengenang kembali pengorbanan Kristus di salib, sumber keselamatan bagi umat manusia.
• Mengajak umat yang hadir untuk merenungkan kematian sebagai bagian dari perjalanan menuju kehidupan kekal.
Karena itu, selama pemakaman Paus Fransiskus, perhatian bukan diarahkan kepada riwayat hidup beliau atau pencapaiannya, melainkan kepada karya agung Kristus yang telah mengalahkan maut.
Tidak Ada Pidato dari Kepala Negara dan Tidak Ada Eulogi
Biasanya dalam acara pemakaman kenegaraan atau tokoh besar, ada sambutan dari pejabat negara atau keluarga untuk mengenang jasa-jasa almarhum. Namun dalam misa pemakaman Paus Fransiskus, hal ini tidak ditemukan.
Tidak ada kepala negara yang berbicara, tidak ada pembacaan riwayat hidup, dan tidak ada pujian pribadi yang diumbar.
Tradisi ini memang disengaja, untuk menjaga kemurnian fokus misa: hanya Allah yang dimuliakan, bukan manusia.
Jika pun ada ucapan penghormatan, biasanya dilakukan di luar misa — dalam bentuk pernyataan resmi, upacara kenegaraan terpisah, atau dalam doa-doa pribadi umat. Tetapi dalam liturgi pemakaman itu sendiri, seluruh perhatian diarahkan kepada Allah.
Pemakaman Paus: Kesederhanaan yang Menunjuk kepada Kristus
Paus Fransiskus sendiri memperkuat pesan ini dengan permintaan pribadinya:
• Peti kayu sederhana, bukan peti mewah.
• Dimakamkan di luar Basilika Santo Petrus, bersama umat biasa.
• Batu nisan yang hanya menuliskan nama “Fransiskus”, tanpa gelar kepausan.
Semua pilihan ini bukan tanpa makna.
Fransiskus ingin, bahkan dalam kematiannya, ia tetap menunjukkan jalan kepada Kristus: hidup dalam kerendahan hati, mati dalam pengharapan kepada Allah, dan bangkit dalam kemuliaan-Nya.
Pelajaran untuk Kita: Kematian Bukan Saatnya Mengagungkan Manusia
Dalam budaya modern, seringkali kematian seseorang dirayakan dengan mengenang semua prestasinya, semua keberhasilannya, seolah-olah ingin menunjukkan betapa hebatnya orang tersebut.
Namun misa pemakaman Katolik mengingatkan bahwa pada akhirnya, yang layak dimuliakan hanya Tuhan.
Semua manusia, sekaya atau sepenting apa pun, datang ke hadapan Allah dengan tangan kosong, bergantung sepenuhnya pada kasih karunia-Nya.
Kiranya ini menjadi sebuah pelajaran yang dalam: kematian adalah saat pengakuan jujur bahwa hanya Allah yang kekal dan layak dipuji.
Penutup
Kematian, pada akhirnya, bukanlah saat untuk meninggikan jasa manusia, betapa pun besar dan mulianya, tetapi saat untuk kembali memandang kepada Kristus yang telah mengalahkan maut.
Melalui pemakaman Paus Fransiskus yang sederhana dan terpusat pada Misa Kudus, kita diingatkan bahwa seluruh hidup kita — dan bahkan kematian kita — hanya menemukan makna sejatinya di dalam pengorbanan Kristus.
Dalam dunia yang sering terjebak dalam kemegahan dan pujian manusia, kesaksian ini berbicara kuat: hanya Kristus yang layak dimuliakan, dari awal hingga akhir.