PERANG NUKLIR: REFLEKSI ALKITABIAH DAN TEOLOGIS

Refleksi alkitabiah dan teologis terhadap akselerasionisme  (Akselerasionisme (accelerationism) adalah ideologi politik dan sosial yang menyatakan bahwa percepatan perubahan teknologi dan sosial dapat mengarah pada transformasi masyarakat yang lebih baik)  dan kemungkinan perang nuklir di tahun 2035 dapat didekati dari beberapa sudut pandang yang berakar pada prinsip-prinsip Kitab Suci dan tradisi teologi Kristen. Berikut adalah beberapa refleksi utama:

  1. Penguasaan atas Ciptaan (Imago Dei) dan Tanggung Jawab Etis

Kitab Kejadian 1:26-28 mengajarkan bahwa manusia diciptakan menurut gambar Allah (imago Dei) dan diberi mandat untuk “memerintah” atas ciptaan. Namun, penguasaan ini bersifat pelayan—bukan eksploitasi atau destruksi.

  • Relevansi Akselerasionisme: Akselerasionisme yang tak terkendali sering kali mengabaikan dimensi moral dari mandat penguasaan ini. Teknologi yang dikejar demi efisiensi dan percepatan sering kali melupakan tanggung jawab etis terhadap sesama manusia, lingkungan, dan masa depan.
  • Tantangan Teologis: Bagaimana umat manusia memastikan bahwa teknologi dan inovasi tidak menjadi alat penghancuran, melainkan sarana untuk memuliakan Allah dan memberkati sesama? Tanggung jawab ini menuntut kebijaksanaan ilahi (Yakobus 1:5) dan pengekangan diri yang dilandasi oleh kasih (1 Korintus 13:1-7).
  1. Dosa, Kesombongan, dan Keserakahan (Hamartia)

Perlombaan akselerasionisme yang memicu ancaman perang nuklir dapat dilihat sebagai manifestasi dosa manusia. Kesombongan (pride) dan keserakahan untuk berkuasa sering kali mendorong peradaban ke jalan kehancuran (Amsal 16:18: “Kecongkakan mendahului kehancuran, dan tinggi hati mendahului kejatuhan”).

  • Peringatan Alkitab: Dalam cerita Menara Babel (Kejadian 11:1-9), manusia mencoba mencapai langit dengan membangun menara demi nama mereka sendiri. Allah mengacaukan bahasa mereka untuk menghentikan kesombongan itu. Dalam konteks modern, perlombaan akselerasionisme yang melupakan batas-batas moral dan kehendak Allah dapat dibandingkan dengan tindakan serupa: mengejar kemajuan demi kejayaan manusia, bukan demi kehendak Allah.
  • Panggilan untuk Pertobatan: Umat manusia dipanggil untuk menyadari keterbatasannya dan bertobat dari penggunaan teknologi untuk kekuasaan destruktif (Yesaya 2:12-22).
  1. Perdamaian sebagai Panggilan Umat Allah

Yesus berkata, “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah” (Matius 5:9). Perang, terutama perang nuklir yang dapat menghancurkan seluruh umat manusia, bertentangan langsung dengan panggilan ini.

  • Tantangan untuk Gereja: Gereja dipanggil untuk menjadi suara profetik yang menyerukan damai di tengah dunia yang dikuasai oleh ketakutan dan konflik. Dalam menghadapi ancaman perang nuklir, gereja harus menegaskan bahwa kehidupan adalah anugerah Allah yang suci dan tak dapat dihilangkan dengan mudah oleh tangan manusia.
  • Perdamaian Melampaui Perang: Nubuat Yesaya 2:4 menggambarkan visi akhir di mana bangsa-bangsa “akan menempa pedang-pedangnya menjadi mata bajak” dan tidak lagi belajar berperang. Visi eskatologis ini mengingatkan umat manusia akan tujuan akhir yang dikehendaki Allah: perdamaian dan harmoni.
  1. Harapan Eskatologis dan Ancaman Kehancuran

Dalam Wahyu 21:1-5, Allah berjanji akan menciptakan langit dan bumi yang baru, di mana tidak ada lagi kematian, duka, atau kehancuran. Namun, perjalanan menuju akhir zaman sering kali diwarnai dengan konflik besar yang mencerminkan pemberontakan manusia terhadap Allah (Matius 24:6-7).

  • Ancaman Perang Nuklir: Perang nuklir mungkin dilihat sebagai konsekuensi dari pemberontakan manusia yang menolak Tuhan sebagai penguasa tertinggi. Namun, Alkitab menegaskan bahwa Allah tetap memegang kendali atas sejarah manusia (Mazmur 46:10).
  • Harapan bagi Dunia: Gereja harus menjadi agen harapan di tengah ketakutan, menegaskan bahwa meskipun dunia tampak kacau, penghakiman dan pemulihan ada di tangan Allah yang adil dan penuh kasih (Roma 8:28).
  1. Solidaritas dan Kehadiran Kristus di Tengah Krisis

Di tengah ancaman perang dan ketakutan global, gereja harus hadir sebagai komunitas yang menghidupi kasih Kristus (Yohanes 13:34-35).

  • Tindakan Nyata: Gereja dapat terlibat dalam upaya diplomasi, advokasi perdamaian, dan mendukung mereka yang terdampak oleh ketegangan geopolitik dan ketidakadilan yang mendasarinya.
  • Kesaksian Injil: Injil adalah pesan rekonsiliasi, tidak hanya antara manusia dan Allah, tetapi juga antara manusia dengan sesamanya (Efesus 2:14-18).

Kesimpulan Teologis

Refleksi terhadap akselerasionisme dan kemungkinan perang nuklir di tahun 2035 menempatkan umat manusia di persimpangan penting. Pilihan antara menggunakan teknologi untuk memuliakan Allah atau menghancurkan ciptaan-Nya adalah ujian iman, moral, dan tanggung jawab manusia. Gereja dipanggil untuk menjadi suara profetik yang menyerukan pertobatan, perdamaian, dan keadilan, sembari mewartakan harapan eskatologis dalam Kristus. Dalam segalanya, umat percaya diingatkan bahwa Allah tetap memegang kendali, dan harapan akhir terletak pada penggenapan rencana-Nya untuk langit dan bumi yang baru.